Tim ilmuwan, kolaborasi astronom dan ahli geologi, menemukan bahwa sebagian besar planet berbatu yang mengorbit bintang terdekat lebih beragam dan eksotis daripada yang diperkirakan sebelumnya. Planet-planet tersebut memiliki jenis batuan yang tidak ditemukan di mana pun di tata surya kita.

Penelitian ini adalah yang pertama mempelajari dan memperkirakan jenis batuan yang ada di planet yang mengorbit bintang terdekat. Rincian penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal Nature Communications dengan judul "Polluted white dwarfs reveal exotic mantle rock types on exoplanets in our solar neighborhood".

Pada penelitian ini, seorang astronom dari NSF's NOIRLab telah bekerja sama dengan seorang ahli geologi dari California State University, Fresno, untuk mempelajari komposisi kimia katai putih "terpolusi". Mereka kemudian membuat perkiraan pertama jenis batuan yang ada di planet yang mengorbit bintang terdekat.

Dijelaskan, bahwa hingga saat ini para astronom telah menemukan ribuan planet yang mengorbit bintang di galaksi kita, yang dikenal sebagai eksoplanet. Namun, sulit untuk mengetahui dengan tepat terbuat dari apa planet-planet ini, atau apakah ada yang menyerupai Bumi.

Untuk mencoba mencari tahu, astronom Siyi Xu dari NOIRLab NSF bermitra dengan ahli geologi Keith Putirka dari California State University, Fresno, untuk mempelajari atmosfer yang dikenal sebagai katai putih yang tercemar. Ini adalah planet dengan inti padat dan merupakan pecahan dari bintang yang dulu normal seperti Matahari. Objek ini dulunya mengandung materi asing dari planet, asteroid, atau benda berbatu lainnya yang pernah mengorbit bintang tetapi akhirnya menjadi bintang katai putih dan "mengontaminasi" atmosfernya.

Dengan mencari unsur-unsur yang tidak akan ada secara alami di atmosfer katai putih (selain hidrogen dan helium), para ilmuwan dapat mengetahui dari mana dan terbuat dari apa benda-benda planet berbatu yang jatuh ke bintang itu.

Putirka dan Xu mengamati 23 katai putih yang tercemar, semuanya dalam jarak sekitar 650 tahun cahaya dari Matahari. Objek tersebut di mana kalsium, silikon, magnesium, dan besi telah diukur dengan presisi menggunakan Observatorium WM Keck di Hawai'i, Teleskop Luar Angkasa Hubble, dan observatorium lainnya.


Para ilmuwan kemudian menggunakan kelimpahan terukur dari elemen-elemen tersebut untuk merekonstruksi mineral dan batuan yang akan terbentuk dari mereka. Mereka menemukan bahwa katai putih ini memiliki komposisi yang jauh lebih luas daripada planet bagian dalam mana pun di Tata Surya kita. Hal itu menunjukkan bahwa planet-planet itu memiliki variasi jenis batuan yang lebih luas. Faktanya, ternyata terdapat beberapa komposisi sangat tidak biasa sehingga Putirka dan Xu harus membuat nama baru (seperti "quartz pyroxenites" dan "periclase dunites") untuk mengklasifikasikan jenis batuan baru yang pasti ada di planet tersebut.

"Sementara beberapa eksoplanet yang pernah mengorbit katai putih yang tercemar tampak mirip dengan Bumi, sebagian besar memiliki jenis batuan yang eksotis dibandingkan dengan tata surya kita," kata Xu dalam rilis NOIRLab NSF.

Sementara itu, Putirka menjelaskan apa arti jenis batuan baru ini bagi dunia berbatu tempat mereka berada. "Beberapa jenis batuan yang kita lihat dari data katai putih akan melarutkan lebih banyak air daripada batuan di Bumi dan mungkin berdampak pada bagaimana lautan berkembang," jelasnya.

Ia melanjutkan, menurutnya beberapa jenis batuan mungkin meleleh pada suhu yang jauh lebih rendah dan menghasilkan kerak yang lebih tebal daripada batuan Bumi. Dan beberapa jenis batuan mungkin lebih lemah, yang mungkin memfasilitasi perkembangan lempeng tektonik.

Studi sebelumnya tentang katai putih yang tercemar telah menemukan unsur-unsur dari planet berbatu, termasuk kalsium, aluminium, dan lithium. Namun, Putirka dan Xu menjelaskan bahwa itu adalah elemen minor yang biasanya membentuk sebagian kecil dari batuan Bumi) dan pengukuran elemen utama yang membentuk sebagian besar batuan Bumi, terutama silikon.


Selain itu, Putirka dan Xu menyatakan bahwa kadar magnesium yang tinggi dan kadar silikon yang rendah yang diukur di atmosfer katai putih menunjukkan bahwa puing-puing berbatu yang terdeteksi kemungkinan berasal dari bagian dalam planet, dari mantel, bukan keraknya. Beberapa penelitian sebelumnya tentang katai putih yang tercemar melaporkan tanda-tanda bahwa kerak benua ada di planet berbatu yang pernah mengorbit bintang-bintang itu, tetapi Putirka dan Xu tidak menemukan bukti adanya batuan kerak.

Namun, pengamatan tidak sepenuhnya mengesampingkan bahwa planet-planet itu memiliki kerak benua atau jenis kerak lainnya. "Kami percaya bahwa jika ada batuan kerak, kami tidak dapat melihatnya, mungkin karena itu terjadi dalam fraksi yang terlalu kecil dibandingkan dengan massa komponen planet lain, seperti inti dan mantel, untuk diukur," kata Putirka.

Menurut Xu, pasangan astronom dan ahli geologi adalah kunci untuk membuka rahasia yang tersembunyi di atmosfer katai putih yang tercemar. "Saya bertemu Keith Putirka di sebuah konferensi dan senang dia bisa membantu saya memahami sistem yang saya amati. Dia mengajari saya geologi dan saya mengajarinya astronomi, dan kami menemukan cara untuk memahami sistem eksoplanet misterius ini," katanya.


Publik dihebohkan dengan penemuan jejak kolagen dan protein purba yang ditemukan di tulang rusuk dinosaurus berusia 195 juta tahun lalu. Ini mungkin sampel jaringan lunak tertua yang pernah ditemukan.

Dikutip Histecho, temuan ini diterbitkan dalam jurnal Nature Communications. Dipaparkan bahwa fosil Lufengosaurus yang ditemukan itu bahkan lebih tua dari protein yang diawetkan selama ini yang berusia 100 juta tahun.

“Hasil ini memperpanjang rekor sisa-sisa organik yang diawetkan selama lebih dari 100 juta tahun,” ujar para peneliti yang masing-masing berasal dari Taiwan, Cina dan Kanada ini.

Fragmen kolagen yang ditemukan sebelumnya berasal dari 75 juta atau 80 juta tahun lalu. Lokasi kolagen yang baru ditemukan juga mengejutkan.

“Biasanya, orang telah melihat dan menemukan kolagen di tulang tungkai yang besar dan besar, bukan di tulang rusuk yang lebih halus,” kata Robert Reisz, salah satu penulis studi dan ahli paleontologi di University of Toronto Mississauga.

Kolagen merupakan salah satu komponen protein utama pada jaringan ikat dan kulit. Dalam hal ini, para peneliti percaya bahwa kolagen dan protein yang mereka temukan di saluran pembuluh darah kecil di tulang rusuk mewakili sisa-sisa pembuluh darah.

Ketika dinosaurus masih hidup, di sinilah pembuluh darah, darah, dan saraf disimpan. Sampel hematit, yang diwakili oleh titik-titik merah gelap, juga ditemukan di saluran pembuluh darah. Hematit adalah mineral yang dapat diturunkan dari hemoglobin yang kaya zat besi, molekul protein dalam sel darah merah yang mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan.

Hematit kemungkinan besar berasal dari hemoglobin dan protein kaya zat besi lainnya dalam darah dinosaurus, bertindak seperti pengawet untuk kolagen, kata para peneliti. Mempelajari sampel ini dapat memberi mereka gambaran yang lebih baik tentang tahap awal evolusi dinosaurus.

Para peneliti fokus pada pelestarian dan menggunakan teknik pencitraan non-invasif seperti spektroskopi dan mikrospektroskopi daripada membuang sampel dan melarutkan bagian-bagian fosil. Hal ini juga mengurangi kemungkinan sampel terkontaminasi bakteri modern.


Sebagai informasi, Lufengosaurus hidup 190 juta hingga 200 juta tahun yang lalu. Lufengosaurus merupakan salah satu dinosaurus tertua dari periode Jurassic awal, dengan ciri-ciri memiliki leher panjang dan tubuh yang membentang sekitar 26 kaki, diyakini dinosaurus jenis ini menghabiskan sebagian waktunya berjalan dengan dua kaki.

Meskipun memiliki gigi dan cakar yang tajam, Lufengosaurus adalah herbivora. Itu adalah jenis sauropodomorpha, kelas dinosaurus "kaki kadal" berleher panjang yang memakan tanaman.




Fosil bahkan menjadi sarang yang berisi embrio dan paling sering ditemukan di Lufeng, yang kini menjadi wilayah Provinsi Yunnan, Tiongkok. Beberapa peneliti yang sama dari penelitian ini menemukan "tulang-tulang" di sarang yang penuh dengan embrio, juga termasuk sisa-sisa organik yang diawetkan, pada tahun 2013 silam.

“Sebelumnya, kami memiliki beberapa bukti sisa organik di embrio, tetapi tidak benar-benar memiliki informasi rinci tentang organik tersebut,” kata Reisz.


Tim peneliti internasional yang dipimpin oleh Dr. Mirjana Roksandic, paleoantropolog dari University of Winnipeg telah mengumumkan penamaan spesies baru nenek moyang manusia, Homo bodoensis. Spesies ini hidup di Afrika selama Pleistosen Tengah, sekitar setengah juta tahun yang lalu dan merupakan nenek moyang langsung manusia modern.

Seperti diketahui, pleistosen Tengah (sekarang berganti nama menjadi Chibanian dan bertanggal 774.000-129.000 tahun yang lalu) penting karena melihat kebangkitan spesies kita sendiri (Homo sapiens) di Afrika, kerabat terdekat kita, dan Neanderthal (Homo neanderthalensis) di Eropa.

Namun, evolusi manusia selama zaman ini kurang dipahami, sebuah masalah yang oleh ahli paleoantropologi disebut "kekacauan di tengah". Pengumuman Homo bodoensis berharap dapat memberikan kejelasan pada bab yang membingungkan namun penting ini dalam evolusi manusia. Rincian studi tersebut telah dipublikasikan di jurnal Evolutionary Anthropology pada 28 Oktober 2021.

"Studi tentang evolusi manusia di Pleistosen Tengah dan Akhir telah mengalami kemajuan signifikan dalam beberapa dekade terakhir," kata Roksandic, penulis utama studi tersebut dalam rilis University of Winnipeg.

Menurutnya, kita sekarang tahu bahwa asal Homo sapiens adalah Afrika (mungkin pan-Afrika) dan meluas lebih jauh ke akhir Pleistosen Tengah daripada yang diperkirakan sebelumnya. Juga jelas bahwa takson ini menyebar keluar dari Afrika sebelum 60.000 tahun yang lalu, kemungkinan dalam beberapa gelombang yang lebih kecil, dengan penyebaran besar pasca 60.000 tahun yang lalu.

"Lebih jauh, selama dua dekade terakhir, spesies yang termasuk dalam genus Homo (misalnya, Homo floresiensis, Homo naledi, dan Homo luzonensis) yang sezaman dengan garis keturunan Homo sapiens tetapi dianggap tidak banyak berperan dalam evolusi yang terakhir, membuktikan kompleksitas catatan evolusi manusia Pleistosen kemudian," Roksandic menjelaskan.



Nama baru ini didasarkan pada penilaian ulang fosil yang ada dari Afrika dan Eurasia dari periode waktu ini. Secara tradisional, fosil-fosil ini telah ditetapkan secara bervariasi baik sebagai Homo heidelbergensis atau Homo rhodesiensis, keduanya membawa banyak definisi yang seringkali bertentangan.

"Berbicara tentang evolusi manusia selama periode ini menjadi tidak mungkin karena kurangnya terminologi yang tepat yang mengakui variasi geografis manusia" menurut Roksandic.

Baru-baru ini, bukti DNA telah menunjukkan bahwa beberapa fosil di Eropa yang disebut Homo heidelbergensis sebenarnya adalah Neanderthal awal, membuat nama itu berlebihan. Untuk alasan yang sama, nama tersebut perlu ditinggalkan ketika menggambarkan fosil manusia dari Asia timur menurut rekan penulis, Xiu-Jie Wu dari Institute of Vertebrate Paleontology and Paleoanthropology, Beijing.

Lebih lanjut mengacaukan narasi, fosil-fosil Afrika yang berasal dari periode ini kadang-kadang disebut sebagai Homo heidelbergensis dan Homo rhodesiensis. Yang terakhir didefinisikan dengan buruk dan namanya tidak pernah diterima secara luas. Ini sebagian karena hubungannya dengan Cecil Rhodes dan kejahatan mengerikan yang dilakukan selama pemerintahan kolonial di Afrika, suatu kehormatan yang tidak dapat diterima mengingat pekerjaan penting yang dilakukan menuju dekolonisasi sains.

Nama "bodoensis" berasal dari tengkorak yang ditemukan di Bodo D'ar, Ethiopia, dan spesies baru ini dianggap sebagai nenek moyang langsung manusia. Di bawah klasifikasi baru, Homo bodoensis akan menggambarkan sebagian besar manusia Pleistosen Tengah dari Afrika dan beberapa dari Eropa Tenggara, sementara banyak dari benua terakhir akan diklasifikasi ulang sebagai Neanderthal.


Rekan penulis pertama Predrag Radovic dari University of Belgrade, Serbia mengatakan, "Istilah-istilah harus jelas dalam sains, untuk memfasilitasi komunikasi. Mereka tidak boleh diperlakukan sebagai mutlak ketika mereka bertentangan dengan catatan fosil.

Pengenalan Homo bodoensis ditujukan untuk "memotong simpul Gordian dan memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan jelas tentang periode penting dalam evolusi manusia ini," menurut salah satu rekan penulis Christopher Bae dari Departemen Antropologi, University of Hawai'i at Manoa.

Menurut Roksandic, menamai spesies baru adalah masalah besar, karena Komisi Internasional untuk Nomenklatur Zoologi mengizinkan perubahan nama hanya di bawah aturan yang sangat ketat. "Kami yakin ini akan bertahan lama, nama takson baru akan hidup hanya jika peneliti lain menggunakannya," kata Roksandic.


Belum pernah sekelompok besar asteroid dicitrakan dengan begitu tajam. Namun, berkat bantuan dari Teleskop Sangat Besar Observatorium Eropa Selatan (ESO's VLT) di Chili, para astronom kini telah berhasil mencitrakan 42 objek terbesar di sabuk asteroid, yang terletak di antara Mars dan Jupiter. Pengamatan ini mengungkapkan berbagai bentuk aneh asteroid, dari bulat hingga ke bentuk tulang anjing, dan membantu para astronom melacak asal-usul asteroid di Tata Surya kita.

Gambar rinci dari 42 objek ini merupakan lompatan maju dalam menjelajahi asteroid, dimungkinkan berkat teleskop berbasis darat, dan berkontribusi untuk menjawab pertanyaan pamungkas tentang kehidupan, semesta, dan segalanya.

Melansir Tech Explorist, Pierre Vernazza, dari Laboratoire d'Astrophysique de Marseille di Prancis, yang memimpin studi ini menjelaskan, "Hanya tiga asteroid sabuk utama besar, Ceres, Vesta dan Lutetia, yang telah dicitrakan dengan tingkat detail yang tinggi sejauh ini, karena mereka dikunjungi oleh misi luar angkasa Dawn dan Rosetta dari NASA dan European Space Agency."

Hasil studi tentang asteroid ini telah diterbitkan di jurnal Astronomy & Astrophysics pada 12 Oktober 2021 berjudul VLT/SPHERE imaging survey of the largest main-belt asteroids: Final results and synthesis.

"Pengamatan ESO kami telah memberikan gambar yang tajam untuk lebih banyak target, totalnya 42." kata Vernazza.

Sebagian besar dari 42 objek dalam sampelnya berukuran lebih besar dari 100 km; khususnya, tim mencitrakan hampir semua sabuk asteroid yang lebih besar dari 200 kilometer, sebanyak 20 dari 23. Dua objek terbesar yang diselidiki tim adalah Ceres dan Vesta, yang berdiameter sekitar 940 dan 520 kilometer, sedangkan dua asteroid terkecil adalah Urania dan Ausonia, masing-masing hanya berjarak sekitar 90 kilometer.


Sampai sekarang, pengamatan rinci terhadap karakteristik utama yaitu bentuk dan kepadatan dari asteroid kecil masih belum diketahui. Sehingga Vernazza beserta timnya mulai mencari celah ini dengan melakukan survei antara 2017 dan 2019 secara menyeluruh pada benda-benda besar yang ada di sabuk asteroid.

Mereka melakukan rekonstruksi bentuk objek asteroid dengan pengamatan yang dibagi dua bagian besar, lalu mengelompokannya. Beberapa tampak hampir bulat sempurna, seperti Hygiea dan Ceres, sementara yang lain memiliki bentuk "memanjang" yang lebih aneh, ratu mereka yang tak terbantahkan adalah asteroid "tulang anjing" Kleopatra, asteroid ini begitu unik.

“Pengamatan kami memberikan dukungan kuat untuk migrasi substansial dari badan-badan ini sejak pembentukannya. Singkatnya, variasi luar biasa dalam komposisi mereka hanya dapat dipahami jika benda-benda tersebut berasal dari wilayah berbeda di Tata Surya,” jelas Josef HanuÅ¡ dari Universitas Charles, Praha, Republik Ceko, salah satu penulis penelitian.

Dengan menggabungkan bentuk asteroid dan informasi tentang massanya, tim akhirnya menemukan bahwa kepadatannya berubah secara signifikan di seluruh sampel. Empat asteroid dengan kepadatan paling rendah yang dipelajari adalah termasuk Lamberta dan Sylvia, memiliki kepadatan sekitar 1,3 gram per sentimeter kubik, kira-kira persis dengan kepadatan batubara. Sedangkan yang tertinggi, Psyche dan Kalliope, memiliki kepadatan masing-masing 3,9 dan 4,4 gram per sentimeter kubik, yang lebih tinggi dari kepadatan berlian (3,5 gram per sentimeter kubik).

Perbedaan besar dalam kepadatan ini menunjukkan bahwa komposisi asteroid sangat bervariasi, hal ini memberi para astronom petunjuk penting tentang asal-usulnya. Namun secara khusus, hasil mendukung teori bahwa asteroid paling padat terbentuk di daerah terpencil di luar orbit Neptunus, kemudian mereka bermigrasi ke lokasi mereka saat ini.


Temuan ini dimungkinkan berkat sensitivitas instrumen Spectro-Polarimetric High-contrast Exoplanet REsearch (SPHERE) yang dipasang pada VLT ESO. Bahkan para astronom akan dapat mencitrakan lebih banyak lagi asteroid secara detail dengan bantuan Extremely Large Telescope (ELT) ESO yang akan datang. Karena teleskop ini masih tahap pembangunan di Chili.

"Dengan peningkatan kemampuan SPHERE, bersama dengan fakta bahwa sedikit yang diketahui mengenai bentuk asteroid sabuk utama terbesar, maka kami dapat membuat kemajuan substansial di bidang ini," kata rekan penulis Laurent Jorda, juga dari Laboratoire d 'Astrofisika de Marseille.

“Memiliki instrumen seperti SPHERE di ELT bahkan memungkinkan kami untuk mengambil gambar sampel objek serupa di Sabuk Kuiper yang jauh. Ini berarti kita akan dapat mengkarakterisasi sejarah geologi dari sampel benda-benda kecil yang jauh lebih besar hanya melalui pengamatan dari tanah.” ujar Vernazza.



Fosil temuan baru mengungkapkan bahwa setidaknya dua dinosaurus karnivora bergigi dengan tengkorak yang menyerupai buaya pernah menguasai tepi sungai di Isle of Wight, Inggris.

Para ilmuwan memberi makhluk itu nama ilmiah yang diterjemahkan menjadi "burung bangau neraka bertanduk, berwajah buaya" dan "pemburu tepi sungai." Predator ini adalah spesies awal spinosaurid, kerabat aneh, mungkin amfibi Spinosaurus yang lebih besar dari Tyrannosaurus rex dan memiliki layar besar di punggungnya.

Kedua spesies baru ini memiliki tengkorak memanjang seperti buaya layaknya Spinosaurus, tetapi tidak ada bukti untuk layar yang serupa. Ceratosuchops inferodios, "burung bangau neraka" yang baru ditemukan, diketahui hanya dari beberapa fragmen tengkorak, sedangkan "pemburu tepi sungai" Riparovenator milnerae, dinamai untuk menghormati ahli paleontologi Inggris Angela Milner, diketahui dari potongan tengkorak dan beberapa tulang ekornya. Sebelumnya, hanya satu jenis spinosaurid yang ditemukan di Inggris: pemburu bercakar yang dikenal sebagai Baryonyx.

"Kami telah mengetahui selama beberapa dekade sekarang bahwa dinosaurus yang mirip Baryonyx menunggu untuk ditemukan di Isle of Wight, tetapi menemukan sisa-sisa dua hewan tersebut secara berurutan adalah kejutan besar," anggota penulis studi Darren Naish, seorang Ahli paleontologi Inggris, mengatakan dalam sebuah pernyataan. Naish juga menulis tentang temuannya di blognya, Tet Zoo.

Keanekaragaman predator

Meskipun dua spesies baru diketahui dari hanya beberapa tulang, fragmen tulang yang ditemukan sangat jelas, karena termasuk tempurung otak dan gigi dinosaurus. Cangkang otak berisi banyak petunjuk anatomi untuk mengidentifikasi spesies yang berbeda, termasuk penempatan saraf dan perlekatan otot. C. inferodios memiliki dahi yang kental dengan tanduk dan tonjolan yang rendah.

"Kami menemukan tengkorak berbeda tidak hanya berbeda dari Baryonyx, tetapi juga tidak sama satu sama lain, menunjukkan Inggris memiliki keragaman spinosaurid yang lebih besar daripada yang diperkirakan sebelumnya," Chris Barker, seorang mahasiswa doktoral di University of Southampton dan penulis utama studi tersebut, dalam pernyataan.

Kedua spesies baru ini hidup sekitar 125 juta tahun yang lalu, pada awal periode Kapur — sekitar 25 juta tahun lebih awal dari Spinosaurus yang suka berlayar. Mereka mungkin mengintai saluran air dari dataran banjir kuno, bertingkah seperti bangau yang sangat besar dan bergigi. Mereka mungkin menangkap ikan dan mangsa darat menggunakan rahang mereka, yang sangat cocok dengan gaya berburu ini. Kedua spesies tersebut kemungkinan tumbuh hingga sekitar 9 meter, berdasarkan ukuran tengkorak mereka (1 meter). Bentuk tengkorak yang berbeda dari kedua spesies menunjukkan bahwa mereka mungkin memiliki gaya berburu yang sedikit berbeda, yang memungkinkan Baryonyx, C. inferodios, dan R. milnerae menemukan banyak makanan di lanskap bersama.

"Mungkin terdengar aneh memiliki dua karnivora yang mirip dan terkait erat dalam suatu ekosistem, tetapi ini sebenarnya sangat umum untuk dinosaurus dan banyak ekosistem hidup," anggota penulis studi David Hone, dosen senior dan direktur program ilmu biologi di Queen Mary University of London, mengatakan dalam pernyataan itu.

Pohon keluarga Spinosauridae

Sejarah dan evolusi famili spinosaurid agak kontroversial; Faktanya, para peneliti bahkan tidak setuju apakah Spinosaurus pada akhir zaman Kapur menyebrang seperti bangau atau berenang seperti buaya. Namun penemuan baru menunjukkan bahwa kelompok dinosaurus ini mungkin pertama kali berevolusi di tempat yang sekarang disebut Eropa sebelum menyebar ke Asia dan benua super Gondwana, yang kemudian terpecah menjadi Afrika dan Amerika Selatan, tulis para peneliti pada Rabu (29 September 2021) di jurnal Nature Communications.

Para peneliti berusaha untuk membangun pohon keluarga, yang menempatkan spinosaurid baru di cabang terpisah (baryonychines, untuk penyuka taksonomi) yang terpisah dari cabang yang memunculkan Spinosaurus (spinosaurines) sekitar 145 juta tahun yang lalu.

"Masih banyak yang harus dipelajari - hampir tidak banyaknya (kelompok) taksa spinosaurid Jurassic tetap menjadi masalah! - tetapi, untuk saat ini, sepertinya kelompok itu berasal dari Eropa, kemudian menyebar ke Asia dan Afrika," tulis Naish pada blog Tet Zoo. "Kehadiran baryonychines dan spinosaurines di Afrika menunjukkan peristiwa migrasi terpisah untuk klad ini."

Para peneliti sekarang sedang mengerjakan makalah yang lebih rinci tentang ekor R. milnerae, tulis Naish. Tulang ekor menunjukkan ekor yang tinggi dan rata, mirip dengan bentuk yang terlihat pada caimen modern. Mereka juga berencana untuk mengeksplorasi lebih lanjut hubungan di antara kerabat spinosaurid yang berbeda di seluruh dunia.


Untung Suropati terlahir dengan nama Surawiraaji. Ia lahir pada 1660 di Bali. Namanya juga bahkan tertulis dalam Babad Tanah Jawi, yang populer. Menurut Babad, ia berasal dari Bali. Pada era perbudakan, ia ditemukan oleh Kapten van Beber, seorang perwira VOC dalam perjalanannya ke beberapa wilayah Nusantara.

Kapten van Beber kemudian menjualnya (sebagai budak) kepada perwira VOC lain di Batavia yang bernama Moor. Sejak memiliki budak baru, karier dan kekayaan Moor meningkat pesat. Anak kecil itu dianggap pembawa keberuntungan sehingga diberi nama "Si Untung", demikian tulis Guntur S. Wijaya.

Namun, selama dalam kepemilikan Moor yang dianggap banyak membawa keberuntungan, ia malah kerap mendapatkan perlakuan buruk dari majikannya. "Setelah beranjak dewasa, Untung mulai memiliki keberanian untuk memberontak," ungkap Guntur dalam jurnal Suluk.

Guntur bersama tim risetnya, telah menulis jejak perjuangan Untung Suropati dalam jurnal Suluk, dengan judul Peranan Untung Surapati di Wilayah Mataram dalam Babad Trunajaya-Surapati, yang terbit pada 2019.

"Setelah melalui beragam pemberontakan, Untung melarikan diri dari majikannya bersama dengan kerabatnya. Meski sempat tertahan oleh kejaran serdadu VOC, ia tetap lolos dari sergapan," tulisnya.

Tujuannya jelas, ia telah menjadi pemberontak terbesar yang ditulis dalam babad berkat kekecewaannya selama menjadi budak. Atas kemenangan Untung Surapati
melawan Belanda di Mataram, Raja Amangkurat II memberikan hadiah berupa jabatan adipati di Pasuruan dengan gelar Tumenggung Wiranegara.

"Amangkurat memberikan wilayah kekuasaan diwilayah Pasuruan dengan diangkatnya sebagai Adipati (sekarang Bupati)" tambahnya. Lebih dari itu, seorang budak yang bermental baja itu kemudian diberi gelar kehormatan, yaitu Tumenggung Wiranegara.

"Setelah itu ia memperkenalkan dirinya dengan nama Surapati" tulis Guntur. Diduga nama Untung ia dapat dari majikannya Belanda, sedang Surapati ia gunakan sebagai bukti pengabdiannya kepada Mataram.

Ya, perjuangan luar biasanya direkam dalam Babad Tanah Jawi. Kisahnya menjadi legendaris karena mengisahkan seorang anak rakyat jelata dan budak VOC yang menjadi seorang bangsawan dan Tumenggung (bupati) Pasuruan.

Untung Suropati merupakan seorang pejuang yang melawan VOC pada tahun 1689 hingga 1709. Ia juga dianggap sebagai seorang pahlawan di daerah Pasuruan, karena telah memiliki jasa dalam pemerintahan di Pasuruan.

Di Pasuruan, Untung Surapati berhasil membangun perlawanan terhadap VOC. Dari
sini ia membangkitkan semangat antikompeni yang mendapatkan simpati dari seluruh rakyat Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah

Diah Ayu Octavia, Sumarjono dan Marjono menulis The Oral Tradition of Untung Suropati Among The People of Pasuruan From 1975 to 2018, yang terbit di jurnal Historica pada 2020. Diah menjelaskan tentang jasanya dalam pergolakan sejarah sebagai bagian dari Pasuruan. 

Selama melawan Kompeni Belanda, Untung Suropati dibantu oleh Raja Cirebon dan Raja Mataram. Mereka memberikan beberapa persenjataan dan beberapa prajurit untuk membantunya dalam peperangan.

"Untung akhirnya diangkat sebagai Bupati Pasuruan ke-4 (1668-1704) yang berkuasa selama 20 tahun" tulisnya. Selama menjabat sebagai Bupati, ia berhasil memajukan sistem perekonomian di Pasuruan.


Hal tersebut lantas membuat Pasuruan dikenal sebagai tempat perdagangan yang besar kala itu. "Selain mengembangkan sistem pemerintahan, ia juga memperluas kekuasaanya ke daerah Probolinggo, Malang dan Banyuwangi" tambahnya.

Pada 1706, saat pertempuran besar terjadi di Bangil, Untung Suropati gugur. Perlawanan selanjutnya dilanjutkan oleh putra-putranya dengan gagah berani disertai dengan semangat pantang menyerah.

Berkat jasa-jasanya, ia dikenang dalam memori kolektif masyarakat. Ia juga kemudian diangkat sebagai seorang pahlawan Nasional berdasarkan S.K Presidesn No.106/TK/1975 pada tanggal 3 November 1975.


Sekitar 520 juta tahun yang lalu, artropoda telah mendominasi lautan Bumi sejak zaman Kambrium. Ia adalah salah satu spesies yang memiliki populasi terbanyak saat itu, ia dapat ditemukan di mana-mana, hampir 80 persen lebih banyak dari semua spesies hewan saat ini.

Namun, selama satu abad lebih, generasi para ilmuwan telah dibuat bingung, bagaimana artropoda tersebut berevolusi, serta seperti apakah nenek moyang mereka? Pertanyaan ini telah menjadi teka-teki besar tersendiri dalam evolusi hewan.

Kini, sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Nature pada 4 November 2020 yang bertajuk An early Cambrian euarthropod with radiodont-like raptorial appendages, sepertinya telah berusaha menjawab teka-teki tersebut.

Studi itu dilakukan oleh para peneliti dari Nanjing Institute of Geology and Paleontology of the Chinese Academy of Sciences (NIGPAS) yang melakukan analisis pada fosil mirip udang bermata lima. Fosil yang akhirnya diberi nama Kylinxia zhangia tersebut mereka temukan di fauna Chengjiang, Provinsi Yunnan, Tiongkok barat daya. Tempat di mana banyak fosil hewan purba lengkap berasal dari era Kambrium ditemukan.

Dilansir dari Geologypage.com, penulis studi asal NIGPAS, Prof. Huang Diying, mengatakan, “Kylinxia adalah spesies chimeric yang sangat langka. Ia menggabungkan fitur morfologis dari hewan yang berbeda, yang analog dengan 'kylin,' makhluk chimeric dalam mitologi tradisional Tiongkok.”

“Karena kondisi taphonomy yang sangat khusus, fosil Kylinxia menunjukkan struktur anatomi yang sangat indah. Misalnya, jaringan saraf, mata, dan sistem pencernaannya, ini adalah bagian tubuh lunak yang biasanya tidak dapat kita lihat pada fosil konvensional,” kata Prof. Zhao Fangchen, yang juga menjadi penulis studi tersebut.


Analisis dari fosil Kylinxia juga mengungkap tentang adanya karakteristik morfologi yang unik, karena ilmuwan menemukan adanya lima buah mata Opabinia yang aneh, mereka menjulukinya sebagai ‘keajaiban aneh' Kambrium. Dari fosil tersebut juga ilmuwan menemukan ciri khas yang dimiliki artropoda sejati, yaitu adanya kutikula yang mengeras, batang yang tersegmentasi, dan kaki yang bersendi. Dari ciri-ciri tersebutlah ilmuwan yakin bahwa itu adalah fosil nenek moyang artropoda. Bukan hanya itu, ia juga memiliki pelengkap raptorial seperti yang dimiliki oleh Anomalocaris.

Anomalocaris adalah predator puncak raksasa di lautan Kambrium. Ia memiliki tubuh yang panjangnya bisa mencapai dua meter lebih. Sebenarnya, hewan purba ini telah dianggap ilmuwan sebagai bentuk dari leluhur artropoda. Hanya saja, perbedaan morfologi yang sangat jauh ditemukan, sehingga ilmuwan masih meragukan jika ia adalah nenek moyang artropoda. Terlebih lagi ada kesenjangan evolusi di antara keduanya yang hampir tidak dapat dijembatani. Hal ini menjadikannya sebagai “mata rantai yang hilang” dalam asal usul artropoda.

Prof. Zhu Maoyan berkata, “Hasil kami menunjukkan bahwa penempatan evolusioner Kylinxia tepat di antara Anomalocaris dan artropoda sejati. Oleh karena itu, temuan kami mencapai akar evolusi artropoda sejati.”


Berdasarkan hasil pemeriksaan anatomi fosil Kylinxia serta analisis filogenetiknya, peneliti menemukan bahwa kaki depan Kylinxia yang membesar, hampir mirip dengan Anomalocaris. Ini mungkin juga merupakan prekursor struktur yang berevolusi pada artropoda selanjutnya. Struktur ini juga termasuk bagian mulut pada artropoda Chelicerata seperti kalajengking dan laba-laba, juga antena sensorik pada artropoda Mandibulata, kelompok yang mencakup serangga, krustasea, dan kaki seribu.

"Kylinxia telah mewakili fosil transisi penting yang diprediksi oleh teori evolusi Darwin," kata penulis utama studi, Dr. Han Zeng, asisten profesor Nanjing Institute of Palaeontology and Geology dalam pernyataannya.

“Fosil ini menjembatani kesenjangan evolusi dari Anomalocaris ke artropoda sejati dan membentuk ‘mata rantai yang hilang’ dalam asal usul artropoda, sehingga memberikan kontribusi bukti fosil yang kuat untuk teori evolusi kehidupan,” pungkas Dr. Han Zeng.


Biasanya kita menemukan fosil dari bebatuan ataupun lapisan tanah purba. Namun siapa sangka, tempat yang tidak biasa—bahkan jorok— seperti tinja juga dapat menyimpan sisa makhluk hidup zaman purba.

Fenomena inilah yang dialami peneliti dari Universitas Uppsala, Swedia. Menggunakan teknologi pemindaian sinkrotron mikrotomografi, mereka secara tidak sengaja menemukan sejumlah jasad kumbang tak dikenal dari fosil tinja dinosaurus.

"Fosil tinja terkadang berisi fosil yang sangat awet, mereka seperti peti harta karun," ujar Martin Qvarnstrom kepada Science News. Ia merupakan biolog evolusi Universitas Uppsala yang memimpin penelitian ini.

Fosil tinja ini berbentuk seperti silinder, dengan panjang 17 milimeter dan diameter 21 milimeter. Fosil ini diperkirakan berumur 230 juta tahun yang lalu, atau dari pertengahan zaman Triassic.

Berdasarkan pengamatan, para peneliti menduga bahwa tinja ini berasal dari dinosaurus Silesaurus opolensis. Dinosaurus ini berasal dari zaman Triassic, dan hidup dari 237 hingga 227 juta tahun yang lalu. Silesaurus terbilang kecil dibanding dinosaurus lainnya. Ia hanya memiliki tinggi sekitar 2 meter dan berbobot 15 kilogram. Fosil dinosaurus ini, berikut pula fosil tinjanya, ditemukan di Polandia.

Oleh para peneliti, kumbang ini dinamai Triamyxa coprolithica. Nama genus kumbang ini berasal dari nama zaman Triassic dan kumbang subordo Myxophaga, seperti dilansir dari CNN. Adapun coprolithica merujuk pada "koprolit", sebutan bagi fosil tinja zaman purba. Laporan penemuan ini dirilis dalam situs Current Biology pada 30 Juni 2021. Tajuknya, Exceptionally preserved beetles in a Triassic coprolite of putative dinosauriform origin.


Penemuan fosil serangga di tinja, terutama yang utuh, boleh terbilang langka. Fosil-fosil serangga lebih umum ditemukan di batu ambar, yang berasal dari resin pohon runjung. Namun, kebanyakan batu ambar yang ditemukan berasal dari 130 juta tahun yang lalu, terbilang "baru" jika dibandingkan fosil Triamyxa.

"Meskipun bukan di batu ambar, keawetan kumbang ini boleh dibilang spektakuler," ujar Paul Sereno kepada Smithsonian Magazine. Sereno merupakan paleontolog University of Chicago yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

Tidak main-main, bagian yang rapuh seperti antena dan kaki bahkan masih lengkap. Keutuhan fosil ini membuat para peneliti dapat membandingkannya dengan spesies serangga modern, dan mengklasifikasikannya dengan mudah ke dalam takson serangga. Keturunan modern dari Triamyxa saat ini hidup di lingkungan basah, baik akuatik maupun semiakuatik. Mereka berbentuk seperti kutu dan bergantung kepada alga sebagai sumber makanannya.

Habitat Triamyxa ini juga selaras dengan habitat Silesaurus. Seperti dilansir dari Haaretz, Polandia pada zaman Triassic merupakan daerah rawa.

"Silesaurus memiliki paruh yang mungkin digunakan untuk mematuk serangga dari tanah, layaknya burung modern," ungkap Qvarnstrom dalam rilis persnya. Namun, ukuran Triamyxa terbilang terlalu kecil jika dibandingkan dengan kumbang lain yang hidup di habitat yang sama. Keberadaan sisa kumbang yang lebih besar di kotoran ini peneliti menduga bahwa kumbang-kumbang ini tertelan secara tidak sengaja oleh Silesaurus.


Kemungkinan ini juga didukung oleh Sam Heads, direktur dan kurator PRI Center for Paleontology di University of Illinois Urbana-Champaign. "Ukurannya yang kecil tentunya membantu kumbang-kumbang ini tetap utuh, mengingat mereka kemungkinan besar tertelan bulat-bulat dan tidak dikunyah," jelasnya kepada CNN.

Qvarnstrom sendiri berharap bahwa penelitian ini dapat membuka babak baru terhadap pencarian jasad hewan purba di fosil tinja. Selain berpotensi menyimpan fosil makhluk hidup yang sangat kecil, fosil tinja juga dapat mengungkap sejarah rantai makanan dan evolusinya hingga saat ini.


Jika Anda pergi ke Yunani dan menanyai warga setempat tentang Kota Pavlopetri, mereka mungkin akan takjub dengan Anda. Tidak semua orang mengetahui tentang Kota Bawah Laut tertua di dunia. Temuan arkeologi bawah laut ini berupa sisa-sisa arsitektur kota yang telah tenggelam, dan hanya terendam sekitar tiga meter dari permukaan laut. Kota ini merupakan kota bawah laut tertua di laut Mediterania, sekaligus tertua di dunia.

Pavlopetri berada di Pantai Pounta Laconia Semenanjung Peloponnese. Berjarak empat jam berkendara dari Athena, atau 2,5 jam dari Bandara Internasional Kalamata. Melansir dari Greek City Times, Pavlopetri secara harfiah berarti Batu Paulus. Berkaitan dengan St Paulus, yang merupakan seorang martir sekaligus penyebar ajaran Kristen. Pemukiman ini berisi material Neolitik dan Zaman Perunggu, dan kota ini diyakini telah berkembang pada periode antara 3000 dan 1000 tahun SM.

“Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah kota bawah laut tertua di dunia,” kata  Jon Henderson, profesor arkeologi bawah laut di University of Nottingham. “Kota ini berasal dari 2800 hingga 1200 SM, jauh sebelum masa kejayaan Yunani klasik. Ada situs bawah laut lainnya yang lebih tua di dunia, tetapi tidak ada unik seperti ini.”

Melansir dari Archeology World, pada 1904, Fokion Negri, seorang ahli geologi  melaporkan sebuah kota kuno di dasar laut. Kota tersebut terletak di antara pulau Elafonisos dan pantai Punta di selatan Laconia. Kemudian pada 1967, Nicholas Flemming, ahli kelautan dari University of Southampton mengunjungi kota kuno tersebut yang berada di kedalaman 3-4 meter.

Pada 1968, Nicholas Flemming kembali ke Pavlopetri dengan sekelompok arkeolog muda dari University of Cambridge, lalu bekerja sama dengan profesor Angelos Delivorrias. Mereka mengukur usia dan memetakan kota yang tenggelam tersebut.

Hasilnya, mereka menemukan perumahan prasejarah yang langka dengan banyak bangunan, jalan, dan bahkan alun-alun. Berdasarkan temuan tersebut, tim dari University of Cambridge mengumumkan bahwa Pavlopetri pertama kali dihuni pada 2800 SM, sedangkan bangunan dan jalan berasal dari periode Mycenaean (1680-1180 SM). Pada 2001, UNESCO mencatat bahwa reruntuhan bawah laut Pavlopetri adalah contoh warisan budaya bawah laut yang harus dilestarikan.


Pada 2007 Jon Henderson dan Chryssanthi Frenchman dari University of Nottingham mengunjungi Pavlopetri. Mereka bekerja sama dengan Direktur Ephorate of Underwater Antiquities Ilias Spondilis, melakukan program penelitian untuk penyelidikan arkeologi lebih lanjut Kota Pavlopetri. Proyek selama lima tahun ini (2009-2013) bertujuan untuk menjelaskan mengenai penanggalan dan karakter desa yang tenggelam di Elaphonisos, juga peran kota dalam mengontrol Teluk Laconian.

Lalu pada 2011, Kota Pavlopetri mulai terkenal ketika BBC mengunjungi kota tersebut dan membuat sebuah film dokumenter tentang Pavlopetri. Film tersebut menampilkan pemandangan spektakuler dari peradaban kuno berusia ribuan tahun. BBC menggunakan teknik pemindaian laser spesialis secara akurat, dan menciptakan model artefak tiga dimensi.


Ahli geologi kelautan belum mengetahui penyebab pemukiman tersebut tenggelam. Teori yang sangat mungkin yaitu karena perubahan permukaan laut, penurunan tanah akibat gempa bumi, atau tsunami. “Kemungkinan disebabkan oleh dua alasan pertama,” kata Dimitris Sakellariou dari Yunani Institute of Oceanography.

Dengan bantuan teknologi digital, para arkeolog percaya bahwa dahulu kota ini merupakan pusat industri tekstil yang berkembang pesat. Arkeolog menemukan banyak alat tenun dan alat lainnya di lokasi tersebut. Tidak hanya bagi masyarakat Yunani, Kota Pavlopetri juga merupakan warisan budaya dunia yang harus dilestarikan.




 

 


Geoglif besar paus pembunuh atau orca telah ditemukan kembali dan dipugar oleh arkeolog. Geoglif adalah motif raksasa yang di bentuk di atas batuan besar. Motifnya bisa berupa apa pun, termasuk motif binatang.

Geoglif tersebut letaknya tersembunyi di lereng bukit gurun terpencil, di wilayah Palpa, Peru selatan. Para peneliti mengingat bahwa lebih dari lima dekade yang lalu, sebuah geoglif tertentu dinyatakan hilang.

Setelah para ilmuwan bertahun-tahun mempelajari, melakukan restorasi dan memeriksa, mereka telah sampai pada kesimpulan bahwa geoglif raksasa tersebut adalah seekor orca. Para peneliti dari Institut Arkeologi Jerman, Commission for the Archaeology of Non-European Cultures (KAAK) telah berkolaborasi dengan mitra lain melakukan sebuah proyek.

Proyek tersebut menunjukkan bahwa, dalam mitologi Peru kuno, sosok orca sepanjang 230 kaki (70 meter) dianggap sebagai makhluk semi-mitos yang dominan. Sosok orca tersebut berusia lebih dari dua milenium. Hal itu menjadikannya sebagai salah satu geoglif tertua di Palpa.


"Mungkin itu adalah geoglif tertua di era Nazca," kata arkeolog dari KAAK, sekaligus kepala proyek Nasca Palpa, Markus Reindel kepada surat kabar Jerman, Welt.

Johny Isla, seorang arkeolog dan direktur Kementerian Kebudayaan Peru di provinsi Ica, mencakup lembah Palpa dan Nazca. Dia mengatakan kepada Live Science bahwa, selama melakukan penelitian geoglif di Institut Arkeologi Jerman di Bonn, pertama kali dia melihat gambar pola orca pada tahun 2013.

"Foto tersebut muncul dalam katalog arkeologi geoglif, yang dicetak pada 1970-an. Foto tersebut didasarkan pada penelitian yang dilakukan di Palpa dan Nazca oleh arkeolog Jerman pada 1960-an," kata Isla kepada Live Science.

"Tetapi lokasi dan ukuran geoglif orca tidak dijelaskan dengan baik dalam katalog. Akibatnya, keberadaan geoglif di perbukitan gurun Palpa Valley tidak diketahui oleh orang-orang lokal atau para ilmuwan," tambahnya.


Segera setelah dia kembali ke Peru, Isla lansung mencoba melihat geoglif orca di Google Earth, kemudian berjalan kaki mencarinya.

"Tidak mudah menemukannya, karena data lokasi dan deskripsinya tidak benar, sampai-sampai saya hampir kehilangan harapan. Namun, saya memperluas area pencarian sampai akhirnya saya menemukannya beberapa bulan kemudian pada Januari 2015," kata Isla.

Selanjutnya, Isla mengorganisir tim yang terdiri dari enam ahli dari Kementerian Kebudayaan Peru. Pada saat itu geoglif orca tampak mulai hilang karena erosi dan termakan usia. Isla bersama dengan tim, membersihkannya dan melakukan pemugaran pada tahun 2017.


Geoglif orca cukup mirip dengan geoglif Nazca yang berasal dari 100 SM hingga 800 M. Analisis tanah yang dilakukan menunjukkan bahwa orca geoglif berasal dari sekitar 200 SM. Hal itu menjadikan geoglif orca sebagai salah satu geoglif tertua di wilayah tersebut.

Banyak geoglif dibuat oleh orang-orang Paracas, Peru. Mereka diperkirakan telah berkembang sebagai kelompok kohesif sekitar 1200 SM, atau bahkan lebih awal. Setelah 800 SM, mereka menduduki lembah Nazca dan Palpa, lalu berkembang di sana.


Menurut Isla, masyarakat mereka menganut teokrasi, sistem negara berdasarkan kepercayaan. “Orang-orang yang tinggal di tepi lembah, menggunakan lereng dan dataran tinggi gurun untuk membuat geoglif," terang Isla.

Mereka menjadi terkenal di seluruh dunia karena garis Nazca yang aneh tetapi mengesankan, yang ditemukan kembali hampir seabad yang lalu di gurun Peru selatan. Meskipun tujuan mereka masih menjadi misteri, setiap tahun selalu banyak pelancong yang penasaran dan mengunjungi Peru untuk melihatnya.


Pencarian narasi tentang Jalur Rempah telah membangkitkan rasa keingintahuan kita tentang kesejatian jiwa negeri ini. Indonesia telah lahir dari sebuah kisah panjang tentang perjumpaan.

Setidaknya dalam lima tahun terakhir, Jalur Rempah muncul sebagai sebuah narasi kultural-historis yang menarik banyak perhatian publik. Narasi ini menempatkan Nusantara (kini Indonesia) menjadi simpul penting pertukaran antarbudaya dari masa ke masa yang mempertemukan berbagai gagasan, konsep, ilmu pengetahuan, agama, bahasa, estetika, hingga adat kebiasaan.

Nusantara dianggap berkontribusi penting dalam membentuk peradaban dunia. Narasi kultural-historis ini begitu romantis, sehingga mampu mereproduksi nasionalisme dan identitas yang secara serentak memberikan pemaknaan baru tentang apa artinya menjadi Indonesia. Meski demikian, kadar pemaknaan itu bisa berbeda-beda bagi setiap orang.

Narasi jalur rempah kini memberikan ruang bagi siapa pun untuk berimajinasi tentang Indonesia. Siapa pun bisa memaknainya secara pribadi sambil merekacipta tradisi dan menyejajarkan ulang (re-alignment) dengan jejak kegemilangan leluhur jauh di masa lampau.

Alih-alih berupa ideologi yang sangat politis, sejarah nasional kini mampu bertransformasi menjadi konten penjenamaan (branding) sekaligus konten kurikulum pendidikan, ia bisa lahir kembali dalam film layar lebar sekaligus konten pidato presiden, pun lahir kembali dalam kebijakan diplomasi budaya sekaligus tema wisata unggulan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Dengan kata lain, jalur rempah memberikan warna baru terhadap proses reproduksi nasionalisme. Di saat bersamaan, gerakan masyarakat berbasis komunitas ini turut membangun literasi dan tradisi belajar – meski berada di luar sistem negara.

Mencari Indonesia

Jalur rempah adalah kisah pertemuan. Kisah silatu­rahmi. Kadang begitu hangat, di saat lainnya panas penuh gejolak. Bila kehangatan rempah itu masih kita warisi hingga kini, maka seharusnya Jalur Rempah hari ini juga mempertemukan kita dengan banyak pemikiran dan gagasan yang melampaui batasan-batasan budaya.

...antara Negarakertagama, Pararaton, dan prasasti itu ada jarak-jarak yang memisahkan keotentikan, dalam artian keabsahan sumber. Pararaton itu paling jauh dapat dipercayanya. Terus Negarakertagama, memang sezaman Majapahit. Tapi masih harus di cek karena tidak semuanya benar. Ingat itu! Tidak semuanya benar yang dikemukakan di situ!”

Kami terdiam. Sumpah Palapa tidak ada. Uraian panjang lebar dari Hasan Djafar seketika membuyarkan imajinasi kami tentang kejayaan Majapahit. Saat itu saya menemani dua desainer dan seorang mahasiswa.

Pada awalnya, para desainer amat bersemangat untuk memaparkan ide komik Mahapatih Gajah Mada yang mengumandangkan Sumpah Palapa. Mang Hasan juga menolak asumsi umum bahwa Majapahit merupakan cikal bakal bersatunya Nusantara yang kelak menjadi model negara Indonesia, termasuk Gajah Mada sebagai figur penting pemersatu Nusantara melalui Sumpah Palapa.

Menurutnya, apabila Gajah Mada memang betul-betul mempersatukan Nusantara yang ditandai dengan sebuah sumpah, peristiwa ini merupakan kejadian penting. Sudah seyogyanya, peristiwa ini pasti terekam dalam dokumen kerajaan yang resmi, dalam hal ini prasasti.


Akan tetapi, kenyataannya tidak ada satu pun dokumen yang ditemukan. Mulai upala prasasti (dokumen dipahatkan pada batu), tamra prasasti (arsip kerajaan yang dipahatkan pada tembaga), maupun ripta prasasti (arsip yang dituliskan pada lontar untuk para saksi). Sesi konsultasi hari itu memberikan pelajaran baru: betapa miskinnya pengetahuan kami dan betapa kurangnya kami membaca.

Kevin Sim mendengar Jalur Rempah untuk pertama kalinya pada tahun 2015 dari para dosen yang kala itu sedang melaksanakan tugas pengabdian masyarakat sebagai perancang pameran yang sama di Museum Nasional. Mengikuti arahan dari sang dosen, ia ikut terlibat sebagai mahasiswa magang di proyek pameran tersebut. Ia pun harus mengikuti sesi konsultasi dengan para narasumber ahli, salah satunya Mang Hasan.

Meski demikian, pemuda kelahiran tahun 1993 ini mengaku tidak suka pelajaran sejarah. Awalnya, narasi Jalur Rempah membuat dahinya berkerut, …ini ngomongin apa sih? Bukannya ini soal bumbu dapur doang ya? Kenapa jadi ribet begini sejarahnya?” ujarnya sambil tertawa.

Romantika sejarah perdagangan rempah itu ternyata tak terlalu menarik baginya. Ia lebih tertarik pada berbagai macam tanaman rempah. Lebih dari 50 ilustrasi rempah-rempah telah dibuatnya untuk beberapa kegiatan pa­me­ran.

Seiring dengan bertambahnya pengetahuan tentang jenis-jenis rempah, pemuda keturunan Tionghoa yang bernama asli Shen Hong Hua ini mengaku bangga bisa ikut berpartisipasi dalam berbagai aktivitas komunitas yang menamakan diri Jaringan Masyarakat Negeri Rempah.

Komunitas ini mempertemukannya dengan pegiat-pegiat budaya dari berbagai daerah di Indonesia. “Selain saya jadi belajar tentang rempah, saya jadi punya banyak teman baru. Saya senang bisa bersosialisasi dengan banyak orang. Buat saya yang paling berkesan adalah kekeluargaannya itu lo. Kita nggak saling kenal sebelumnya. Tapi, waktu kita sama-sama ngerjain jalur rempah, kita saling dukung memperkenalkan Indonesia. Bangga banget rasanya lihat karya saya dipajang di Museum Nasional,” ujar Shen Hong Hua.

Narasi Jalur Rempah yang dihayati Kevin boleh jadi sebatas bumbu dapur. Tetapi, setidaknya Jalur Rempah telah membuka pintu imajinasinya tentang keindonesiaan. Ia bermimpi untuk menerbitkan Bumbupedia, buku kumpulan ilustrasi rempah-rempah hasil karyanya selama menjadi sukarelawan pegiat jalur rempah.


Akhirnya kiriman buku dari Tanjungpandan itu tiba juga. Pengirimnya adalah Fithrorozi. Beberapa waktu lalu ketika berkunjung ke Jakarta untuk acara “Rempah dan Kita”, ia pernah berjanji mengirimkan kumpulan tulisan dari anak-anak sekolah dasar asuhannya. Judulnya: Cerita Anak Republik Kelekak “Lima Penjuru Angin”.

Isinya adalah tulisan siswa-siswi SD Negeri 13 Sijuk mulai dari kelas 2 hingga kelas 6, menggunakan bahasa ibunya. Sederhana, jujur, lugu, dan lucu. Ide membuat buku ini digagasnya untuk menumbuhkan tradisi belajar sejak anak-anak. “Cara ini bisa dipakai untuk memperkenalkan jalur rempah ke anak-anak, mbak,” paparnya dengan antusias.

Sudah sejak beberapa tahun terakhir Fithrorozi aktif dalam sebuah komunitas literasi yang dinamakannya Telinsong Budaya. Putra daerah asli Belitung yang pernah beberapa tahun bekerja di perusahaan swasta di Jakarta ini memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya, menjadi PNS dan berkarya di kota kelahirannya.

“Jalur rempah ini menarik sekali. Ini mengingatkan saya pada posisi Belitung di jalur perlintasan samudra dan budaya,” paparnya penuh semangat. “Narasi Jalur Rempah sangat relevan dengan aktivitas saya bersama komunitas lokal. Basis komunitas kami adalah literasi yang mulai mendapatkan tantangan dari banyaknya disrupsi teknologi digital sehingga perlu dikembangkan keunikan lokal berbasis tradisi. Namun kondisi ini senjang,” sambungnya.

Fithrorozi menambahkan bahwa narasi jalur rempah lebih marak dalam tataran pemerintahan ketimbang di akar rumput. Pemerintah Kabupaten Belitung memang pernah menggelar sarasehan Jalur Rempah yang dihadiri Balai Arkeologi dan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi.

Sayang sekali, lebih berorientasi pada temuan arkelogis dari entitas kekuasaan lama (Kerajaan Balok) yang menurutnya sulit direlasikan dengan Jalur Rempah.

Padahal, Fithrorozi berkeyakinan bahwa narasi Jalur Rempah ini memiliki daya dorong untuk menggerakkan potensi ekonomi dari komunitas lokal. Apalagi komunitas ibu-ibu di sini juga sudah memanfaatkan rempah sebagai tanaman obat, malah ada pula yang mulai membuka usaha spa rempah, sabun, dan kuliner.

“Bayangkan, bila komunitas perempuan ini bisa memaknai usaha yang mereka lakukan adalah bagian dari narasi besar jalur rempah yang sedang diupayakan Indonesia sebagai warisan dunia,” ujarnya. Namun, ia juga menekankan bahwa narasi saja tidak cukup. Pelaku usaha juga perlu mengetahui rantai nilai, rantai pasok, dan rantai pemasaran.

Rempah Belitung khususnya lada, boleh jadi tidak lagi menjadi unggulan. Meski demikian, Fithrorozi sangat optimis bahwa ada simpul yang bisa membuat ingar-bingar jalur rempah ini beroleh manfaat: pariwisata. Menurutnya pariwisata bisa menjadi daya tarik sektor hulu dan mendorong sektor hilir. “Inilah pentingnya literasi,” pungkasnya.


 Pagebluk mengancam banyak jiwa dalam sejarah peradaban manusia, seperti Covid-19 saat ini dan Black Death pada pertengahan abad ke-14. Pada masa Black Death, pagebluk itu menewaskan sekitar 40--60 persen populasi di Eropa.

Akan tetapi, membuktikan kejadian Black Death bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, pagebluk  membunuh begitu cepat dan tak meninggalkan jejak pada kerangka. Situasi itu cuma terekam dalam catatan sejarah. Sedangkan berdasarkan bukti arkeologis hanya bisa teridentifikasi lewat jenazah yang dikubur secara massal dari penanggalan waktu kejadian.

Walau demikian, sebenarnya tak menutup kemungkinan bila sebagian besar korban pagebluk dikubur secara individual, meski masih sulit dikonfirmasi kebenarannya.

Terbatas pada masalah itu, para ilmuwan pun tak begitu saja menyerah sehingga dapat menemukan bukti proses pemakaman korban pagebluk di penghujkung abad pertengahan itu.

Para ilmuwan dari Department of Archaeology at Cambridge University, telah mengidentifikasi keberadaan Yersina Pestis, patogen penyebab Black Death. Penemuan itu berdasarkan penelitian terhadap DNA dari gigi beberapa jenazah di pemakaman umat paroki sekitar Cambridge dan Clopton, Inggris.

Studi ini juga menunjukkan bahwa beberapa korban Black Death di Cambridge memang menerima penguburan massal.

"Secara keseluruhan, dari total 197 individu yang diskrining, sepuluh sampel dinyatakan positif Y. pestis, ditambah tiga kemungkinan lainnya (kemungkinan positif tetapi tidak memiliki cukup data untuk memastikan keberadaan patogen)," tulis para ilmuwan European Journal of Archaeology, Kamis (17/06/2021).


"Delapan identifikasi positif dan dua sementara berasal dari pemakaman tunggal di pemakaman paroki normal dan tempat-tempat keagamaan, termasuk pemakaman paroki All Saints by the Castle, baik pemakaman dan rumah kapitel Biarawan Augustinian, dan paroki pedesaan Clopton."

Secara signifikan, diidentifikasi adanya Yersina Pestis pada beberapa jenazah umat paroki dari St Benedictus yang berdiri sekitar1000-1050. Mereka dikuburkan secara massal di parit besar di halaman gereja yang digali, dan diletakan secara hati-hati pada proses pemakamannya.

"Ada kemungkinan bahwa penguburan massal ini berhubungan dengan Maut Hitam karena kemungkinan terjadi sebelum awal/pertengahan 1350-an, tetapi kemungkinan terkait dengan wabah pada 1361–1362, 1369 dan 1374," tulis Craig Cessford dan tim.

Sedangkan di gereja All Saints by the Castle—gereja paroki yang didirkan sekitar 940-1150, ditemukan 49 kerangka dari kuburan sebagai sampel. 22 di antaranya diperkirakan tewas pada wabah kedua Black Death, dan mayoritas sekitarnya yang sudah meninggal terlebih dahulu sebelum wabah kedua.

Mereka menyimpulkan, selama pandemi kedua Black Death, jenazah orang yang meninggal karena pagebluk dikebumi dengan berbabgai cara. Sebagain pemakaman massal dilakukan secara khusus, dan sebagian besar dilakukan secara normal.

"Mungkin sekitar 2300–3500 orang meninggal karena wabah dalam beberapa bulan pada tahun 1349 di Cambridge dan dikuburkan di tujuh belas gereja paroki, sebuah biara, dua biara, dan empat biara, baik sebagai pemakaman individu maupun pemakaman massal," papar para ilmuwan.

Dalam pemakaman massal, terang para ilmuwan, setidaknya ada lima orang di dalamnya. Ini menandakan bahwa komunitas masyarakat kewalahan dan tidak mampu mngatasi melalui pengubural normal. Tetapi mereka masih memperlakukan mayat sebanyak mungkin dengan rasa hormat.

Baik rohaniawan maupun kaum awam yang tewas akibat Black Death, dikeburukan dengan cara biasa, termasuk biarawan berstatus tinggi. Kadang-kadang, mereka dikebumikan di jantung arsitektur lembaga komunitas.

Hal ini menunjukkan kepedulian lembaga dengan menandai status mereka yang membutuhkan usaha yang berat, maupun pada korban pagebluk maupun tidak. Orang yang meninggal karena pagebluk, dikebumikan di tempat lain di biara, sesuai dengan status mereka.

Cressford dalam rilismengatakan, "Pekerjaan kami menunjukkan kalau sekarang [adalah saat yang] memungkin untuk mengidentifikasi individu yang meninggal karena wabah dan menerima penguburan individu."

"Ini sangat meningkatkan pemahaman kita tentang wabah dan menunjukkan bahwa bahkan di masa yang sangat traumatis, selama pandemi masa lalu, orang berusaha sangat keras untuk menguburnya dengan sangat hati-hati."


 


Seperti Yerusalem yang "dimiliki" oleh tiga tradisi keagamaan—Yahudi, Kristen, dan Islam— Sarandib juga dikenal sebagai tempat bersejarah bagi tiga agama. Kini, kita lebih mengenal dengan toponimi Srilangka. Negeri ini memiliki tiga situs penting bagi umat Buddha, Hindu, dan Islam.

Situs sakral tiga agama itu terletak di Puncak Adam, ketinggiannya 2.243 meter di atas permukaan laut. Lokasi persisnya di Distrik Ratnapura, Srilangka bagian Selatan.

Di formasi batuan tak jauh dari puncak, terdapat lekukan batu berbentuk tapak kaki sepanjang 1,8 meter. Orang Sinhala (penganut Buddha) menamainya Sri Pada dalam bahasa Sanskerta atau Tapak Kaki Suci. Mereka mempercayainya sebagai jejak kaki Sang Buddha untuk menandai bahwa wilayah ini penting bagi penerus ajarannya.

"Gunung itu seolah menyentuh langit. Ketika Adam turun ke bumi, dan menginjakkan kaki pertama kali di puncak gunung itu, ia masih bisa mendengar suara malaikat bernyanyi," tutur Profesor Ronit Ricci menggambarkan Puncak Adam di Sarandib. "Digambarkan bahwa kakinya di bumi, kepala di surga. Puncak itu liminal, antara surga dan dunia," tambah Ricci.

Ricci merupakan peneliti manuskrip Jawa dan Melayu di Department of Asian Studies and Comparative Religion, Hebrew University of Jerusalem. Saat itu dia berkesempatan sebagai pembicara dalam Wednesday Forum, 27 April silam. Forum mingguan itu diselenggarakan oleh oleh Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) dan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM.

Artefak ini juga penting dalam Hinduisme. Umat Hindu meyakininya sebagai tapak kaki Dewa Siwa, sehingga menamainya Shivanolipatha Malai dan Shiva padam. Dua kata yang berarti sama, yaitu jejak kaki Dewa Siwa. Negeri ini juga melekat dalam kisah Ramayana yang merujuk pada Alengka sebagai kerajaan Rahwana.

Sedangkan umat Islam mempercayainya sebagai tapak kaki Nabi Adam. Di sinilah Adam pertama kali menjejakkan kakinya ke bumi dan menjalani hukuman sebagai manusia. Mereka menjuluki gunung tempat artefak itu dengan nama Puncak Adam. Pun, sebutan itu masih digunakan hingga sekarang.

Secara etimologi, pulau ini mengalami banyak perubahan nama. Sebutan paling arkaik bagi pulau ini adalah Langka. Berasal dari Sanskerta Lankadeepa yang berarti tanah bersinar. Dalam kisah epik Ramayana, yang berkembang di wilayah ini, Langka sama artinya dengan Alengka, yaitu nama wilayah kerajaan di mana Rahwana bertahta.

Orang Arab menyebutnya "Sarandib", yang telah digunakan paling tidak sejak tahun 361. Kata ini diduga berasal dari bahasa Sanskerta simhaladvipa, yang dilafalkan oleh orang Arab menjadi Sarandib. Sedangkan orang Persia menamainya Serendip.


Sarandib atau Serendip juga diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi serendipity. Kata ini mulai digunakan setelah Horace Walpole menerbitkan buku berjudul "Three Princes of Serendip" pada 1754. Ia berkisah tentang tiga petualang yang dalam perjalanannya menemukan keberuntungan tanpa berniat mencarinya. Sejak itu serendipity digunakan untuk menyebut suatu peristiwa ketaksengajaan.

Di bawah kekuasaan Belanda, kemudian  Inggris, pulau ini disebut Ceylon. Nama ini terus dipakai hingga 1972. Pada 2 Mei 1972, sistem pemerintahan berubah menjadi republik dan nama resmi negaranya adalah Republik Srilangka.

Letaknya di selatan Semenanjung India, antara Teluk Bengali dan Laut Arab.  Berbentuk menyerupai tetes air mata yang mengapung di Samudra Hindia, pulau ini sering disebut Teardrop in the Indian Ocean. Selain itu bentuknya juga mirip permata, sehingga kadang disebut Permata di Samudra Hindia. Sebutan ini secara literal  sangat sesuai dengan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Pulau ini penghasil batu-batu mulia seperti safir, rubi, biduri delima, dan permata.

Beragam kisah dan legenda tentang keunggulan permata Srilangka sangat terkenal sejak zaman kuno. Dari cerita Raja Solomon yang memberikan permata Srilangka kepada Ratu Sheba, hingga kisah-kisah para petualang dunia.

Marco Polo mengabarkan dalam catatan perjalanannya, bahwa sang raja memiliki rubi seukuran telapak tangan manusia. Sedangkan Sinbad si pelaut ketika kapalnya karam di pulau itu bercerita bahwa di sungainya mengalir batu-batu rubi, intan, dan mutiara.

Tercatat dalam sejarah, pertambangan permata tradisional telah ada sejak 3000 tahun silam. Menjadikan permata dan perhiasan sebagai komoditi dagang. Perdagangan telah ramai sejak dahulu. Posisi geografisnya yang strategis, membuat wilayah ini menjadi titik penting di jalur rempah. Kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia membongkar dan memuat  dagangan di pelabuhan tua Trincomalee dan Godawaya. Titik pemberhentian ini membuat Srilangka berkembang menjadi kosmopolitan. Penduduknya terbuka dan berinteraksi dengan warga dunia.

Selain karena perdagangan, pulau ini semakin kosmopolit di masa kolonial. Semula Portugis, Belanda, lalu Inggris. Pemerintah kolonial menerapkan sistem perbudakan dan rekrutmen tentara yang berasal dari berbagai tempat, serta menjadikan wilayah ini tempat buangan bagi lawan politik. Orang dari beragam muasal dan beraneka kepentingan, datang dan menetap di pulau ini, memengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan agama.

Termasuk orang-orang dari Nusantara. Tidak sedikit tokoh-tokoh penting yang diasingkan ke sana. Tercatat dalam babad dan surat.

Babad Mangkubumi menceritakan pengasingan Amangkurat III dan Pangeran Arya Mangkubumi beserta pengawal, keluarga dan para abdinya. Di sepucuk surat yang ditulis oleh Siti Hapipa—istri Sultan Gowa—dikisahkan kemalangan yang diderita Raja dan keluarganya di pengasingan. Syekh Yusuf Al-Makassari -tokoh agama Islam di Sulawesi Selatan, diasingkan ke Ceylon karena gerakan anti kolonialnya mengancam kedudukan Belanda. Selain itu di antara sekian banyak tokoh diasingkan, ada Sultan Bacan, Sunan Kuning dan Sultan Eyato dari Kerajaan Gorontalo—kemudian dijuluki Tato Selongi, dan masih banyak lagi yang catatannya belum ditemukan.




Mereka diasingkan karena beberapa hal. Ricci mengungkapkan bahwa orang-orang datang ke Srilangka di antaranya karena hukuman dan dianggap berbahaya bagi pemerintah kolonial. Mereka dibawa ke tempat yang jauh untuk dipisahkan dari para pendukungnya, demi memutus pengaruh.

Seperti Syekh Yusuf Al-Makassari, semula diasingkan ke Banten, kemudian ke Ceylon, karena beliau masih bisa terus konsolidasi melawan Belanda dengan pendukungnya di Sulawesi Selatan. Dianggap kurang jauh, selanjutnya beliau diasingkan ke Cape Town di Afrika Selatan hingga tutup usia di sana. 

Selain itu di beberapa kasus, lanjut Ricci, "Karena suksesi kerajaan di Jawa misalnya. Ketika terjadi perebutan kekuasaan antar saudara, Belanda mengintervensi dengan mengasingkan salah satu pihak yang bertentangan dengannya."



Ricci memaparkan tentang bagaimana kehidupan  mereka di tanah pengasingan. Terutama bagaimana persepsi mereka terhadap Ceylon yang mengubah cara melihat diri mereka sendiri di pengasingan.

Di tempat pengasingan bernama Ceylon atau Sarandib atau Langka itu, terdapat artefak yang sakral bagi tiga agama. Umat Buddha, Hindu, dan Islam berziarah dan berbagi situs yang sama, yaitu tapak kaki dari batu di Puncak Adam.

Bagi yang diasingkan di Ceylon, mereka merasa mengalami pengasingan yang sama, yang dialami oleh Sang Buddha, Nabi Adam maupun Sita yang ditawan Rahwana di kisah Ramayana. Mereka diasingkan ke tempat suci, dan mengikuti jalan asketik (menjauhkan diri dari keramaian, kesenangan, dan keduniawian).

Puncak Adam dianggap sebagai gunung tertinggi dan paling dekat dengan langit atau surga. Narasi ini dibangun dan terus menerus dikisahkan kepada keturunannya tak hanya secara lesan tetapi juga melalui teks. Hal ini yang diteliti oleh Ricci dan hasilnya dituangkan dalam buku berjudul "Banishment and Belonging: Exile and Diaspora in Sarandib, Langka and Ceylon" diterbitkan oleh Cambridge University Press pada 2019.

Di sini kita bisa melihatnya sebagai upaya mereka mentransformasi dispowerment—kekalahan atau pelemahan oleh pemerintah kolonial—menjadi power dalam meraih kekuatannya kembali. Pada waktu itu Ceylon telah dikonotasikan negatif bagi warga jajahan di Nusantara, sebagai tempat hina bagi para buangan. Pada periode ini Ceylon, atau dalam bahasa Jawa diucapkan Selong, sering digunakan sebagai kata yang buruk. Ada istilah dalam bahasa Jawa "diselongke", atau di-selong-kan yang artinya disingkirkan.