NASA mengungkapkan bahwa asteroid yang mendekati Bumi tahun lalu, ternyata bukan satu objek, melainkan dua.

Asteroid 2017 YE5 pertama kali terlihat pada 21 Desember 2017 oleh Morocco Oukaimeden Sky Survey. Namun, ia baru mencapai jarak terdekatnya dengan Bumi pada 21 Juni lalu.

Hasil pengamatan jarak terdekatnya, menunjukkan bahwa asteroid itu merupakan sistem biner yang terdiri dari dua objek yang saling mengorbit satu sama lain. NASA bahkan mengungkapkan bahwa mereka ‘menari’ bersama.

“Hasil observasi mengungkap adanya dua lobus berbeda. Awalnya, orientasi asteroid membuat para ilmuwan kesulitan melihat apakah kedua tubuh mereka terpisah atau menjadi satu. Namun, pada akhirnya, dua objek ini berputar dan memperlihatkan celah yang jelas di antaranya,” jelas NASA.

Penelitian lebih lanjut yang dilakukan di Arecibo Observatory di Puerto Rico, dan Green Bank Observatory di West Virginia pun menunjukkan hasil yang sama.

NASA mengatakan, asteroid kembar ini memiliki karakteristik yang unik.

Tidak seperti asteroid berbatu lainnya, mereka berwarna ‘gelap seperti arang’. Artinya, dua asteroid yang ditemukan di dekat Bumi ini tidak merefleksikan banyak cahaya.

Para ilmuwan juga menduga bahwa mereka mungkin memiliki tingkat kerapatan, komposisi permukaan, dan kekasaran yang berbeda.

Dalam 18 tahun terakhir, hanya ada 50 sistem biner yang dipelajari NASA. Oleh sebab itu, asteroid kembar ini dianggap sebagai penemuan langka.

Menurut para ahli, asteroid kembar tersebut tidak akan datang sedekat ini lagi dengan Bumi hingga 170 tahun mendatang.




 


Ketika membayangkan Tyrannosaurus rex, dinosaurus yang paling menakutkan, Anda mungkin mengira ia memiliki rahang menganga dengan lidah raksasa di mulutnya.

Namun, menurut studi terbaru yang dipublikasikan pada PLOS ONE, itu bukan gambaran T-Rex yang sebenarnya. Faktanya, beberapa dinosaurus tidak mampu menjulurkan lidahnya. Bagian tersebut menempel di lantai mulut – mirip dengan yang terjadi pada buaya.

Untuk mendapatkan kesimpulan ini, para ilmuwan dari University of Texas dan Chinese Academy of Science, mempelajari tulang hyoid burung-burung modern dan buaya, lalu membandingkannya dengan fosil dinosaurus unggas (seperti pterosaur), dan T-rex.

Hyoid sendiri merupakan tulang berbentuk mirip tapal kuda yang terletak di sekitar leher antara dagu dan tiroid.

Setelah menelitinya, para arkeolog menemukan fakta bahwa tulang hyoid T-rex dan dinosaurus lainnya, mirip dengan buaya. Tulangnya pendek, simpel, dan sulit digerakkan.

“Selama ini, mulut dan lidah T-rex digambarkan dengan salah,” kata Julia Clarke, ahli paleontologi dan profesor di Jackson School.

“Pada dinosaurus yang sudah punah, tulang lidah mereka sangat pendek. Milik buaya pun sama pendeknya, dan lidahnya benar-benar melekat pada dasar mulut,” tambahnya.


Para arkeolog di Denmark menemukan kerangka manusia berusia 2000 tahun yang menunjukkan adanya peperangan barbar di Eropa Utara. Penemuan yang dipublikasikan pada jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences ini juga memberikan pandangan yang unik tentang bagaimana suku-suku di Jerman mengabadikan pertarungan mereka.

Yang ditemukan peneliti

Para arkeolog menggali 2.095 tulang manusia dan beberapa pecahannya – diduga milik 82 orang – di lahan basah seluas 185 hektar di situs Alken Enge, Semenanjung Jutland, Denmark.

Hasil studi ilmiah menunjukkan bahwa tulang-tulang tersebut berasal dari para pria dewasa muda yang meninggal bersamaan dalam suatu peristiwa, di awal abad pertama Masehi. Luka trauma yang tidak bisa sembuh pada kerangka dan adanya penemuan senjata mengisyaratkan bahwa mereka meninggal dalam pertempuran.

Meskipun tidak menggali semua bagian lahan, namun tim peneliti memperkirakan, ada lebih dari 380 orang yang mungkin dikubur di rawa-rawa di sepanjang tepi danau, 2000 tahun lalu.

Siapa yang bertarung?

Meskipun sering bertempur dengan suku-suku Jerman di sepanjang Eropa pada abad pertama Masehi, namun pasukan Romawi tidak pernah pergi sampai sejauh Skandinavia.

Para arkeolog juga tidak menemukan bukti keterlibatan langsung Romawi dalam pertempuran tersebut.

“Trauma pada tubuh juga konsisten menunjukkan bahwa itu berasal dari pasukan Jerman sendiri,” kata Mads Kähler Holst, arkeolog dari Aarhus University yang memimpin penelitian ini.

Peter Bogucki, arkeolog dari Princeton University (yang tidak terlibat dalam penelitian ini), pun menyatakan hal yang sama. “Ini pertarungan antar bangsa barbar,” katanya.

Ia mencatat, pertempuran di Denmark, pada 2000 tahun lalu tidak selalu disebabkan atau dipengaruhi oleh serangan Romawi. “Ada pola kekerasan endemik antarkelompok di wilayah tersebut yang kembali ke masa prasejarah. Hanya saja, kelompok-kelompok itu lebih besar dan senjatanya semakin mematikan,” tambah Bogucki.

Menciptakan kenangan

Yang menarik dari penemuan ini adalah: beberapa kerangka menunjukkan adanya gigitan hewan. Kemungkinan, tubuh mereka awalnya dibiarkan di suatu tempat selama enam bulan hingga setahun, sebelum akhirnya terendam di lahan basah.

Tulang lainnya sengaja disusun bersama batu dan kemungkinan dibawa dari daerah lain. Serpihan tulang pingul dari empat individu berbeda diketahui dijahit pada cabang pohon.

Ini membuat peneliti menduga bahwa setelah beberapa waktu, mayat yang dikumpulkan dari medan perang, disimpan dalam rawa-rawa.

Mengingat pentingnya upacara dan ritual pada rawa dan danau dangkal di sepanjang Eropa Utara, Bogucki yakin, penghilangan mayat dari medan perang setelah beberapa waktu dan menguburnya pada lahan basah tersebut, merupakan aksi para penakluk untuk mengingat kemenangan mereka.

“Itu merupakan ‘kerja memori’ setelah pertempuran. Mereka dengan sengaja menciptkan kenangan kolektif dari peristiwa tersebut,” papar Bogucki yang juga pengarang buku Barbarians.

 


Apa yang Anda pikirkan saat mendengar kata benua? Pikiran Anda mungkin akan langsung tertuju pada 7 benua yang sudah pernah dipelajari di sekolah. Namun, tahukah Anda bahwa jutaan tahun lalu Bumi tidak terbagi menjadi benua-benua yang ada seperti sekarang? Pada masa itu hanya ada satu benua super besar bernama Pangea.

Kini, sebuah penelitian baru di Geophysical Research Letters yang diterbitkan Rabu, (11/4/2018) mengungkap adanya kemungkinan benua super besar ini terbentuk lagi di masa depan. Dengan menggunakan pemodelan statistik, para ilmuwan mengungkap bahwa dalam 250 juta tahun, masing-masing benua kita sekali lagi akan bergeser menjadi benua super tunggal yang dikelilingi oleh lautan.

Seperti yang kita tahu, posisi benua Bumi bergantung pada pergerakan, tenggelamnya, serta bergesernya lempeng tektonik. Selain itu, ukuran dan bentuk cekungan lautan juga mempengaruhi posisi benua.

Melalui studi baru itu, para peneliti menunjukkan bahwa pergerakan lempeng tektonik juga menentukan siklus pasang surut super (super tidal) yang mengendalikan kekuatan gelombang laut. Siklus panjang ini pada gilirannya, menciptakan perubahan dalam energi pasang surut (energi tidal) yang menurut para peneliti terkait dengan pembentukan benua super setiap 400 hingga 600 juta tahun.

"Simulasi kami menunjukkan bahwa saat ini gelombang itu sangat besar," kata Mattias Green, Oceanografer Universitas Bangor, Inggris dikutip dari Inverse, Rabu (11/04/2018).

"Jika gelombang melemah hingga 200 juta tahun yang lalu, lalu menjadi sangat energik selama dua juta tahun terakhir, kira-kira apa yang akan terjadi jika kita proyeksikan jutaan tahun di masa depan? Itu benar-benar adalah pertanyaan yang memotivasi kami," tambahnya.

Tertarik dengan hal tersebut, Green dan timnya menciptakan model yang menyimulasikan gerakan lempeng tektonik dan perubahan resonansi cekungan laut. Hal ini mereka lakukan untuk menjawab pertanyaan itu.

Dari analisis mereka kemudian menyimpulkan bahwa lautan akan melalui beberapa siklus pasang surut sebelum benua super berikutnya benar-benar terbentuk. Dan saat ini kita sedang berada pada tahap awal dari energi pasang surut maksimum dan gelombang laut diperkirakan akan bertahan selama 20 juta tahun lagi.

Akhirnya, lempeng Amerika Utara dan Eurasia akan menjauh, Samudara Atlantik akan berubah perlahan dan melebar. Jika pemodelan ini benar, maka dalam 50 juta tahun Asia akan terpecah, menyebabkan terbentuknya samudra baru. Ditambah lagi, dalam 100 juta tahun, Australia akan bergerak ke utara menuju ke bagian bawah Asia.

Ketika benua-benua bergabung menjadi satu, energi pasang surut akan menurun dan akhirnya lautan luas yang tenang akan mengelilingi benua super. Meski benua super baru akan terjadi dalam waktu jutaan tahun lagi. Informasi ini akan digunakan oleh para ilmuwan untuk mempelajari hubungan antara pasang surut dan kehidupan laut yang berkelanjutan.

Kapal uap Titanic dirancang dengan ambisi kompetitif untuk ukuran dan kemewahan. Pada zamannya, kapal ini menjadi kapal penumpang terbesar dan termewah. Sayangnya, semua kemewahannya tidak berumur panjang. Beberapa hari setelah pelayaran fenomenalnya, Titanic menabrak gunung es di Samudra Atlantik bagian utara. Dengan cepat, kapal itu pun tenggelam ke dasar laut dan tidak diketahui keberadaannya. Dibutuhkan waktu selama tujuh puluh tiga tahun untuk menemukan kapal yang mempesona itu. Namun bagaimana nasib gunung es yang ditabrak oleh Titanic?

Dirancang untuk mengangkut orang kaya dan terkenal

Sejak awal, Titanic dirancang untuk mengangkut orang kaya dan terkenal untuk melintasi Atlantik. Dibangun selama tiga tahun, Titanic dirancang oleh White Star Line. Kapal ini berornamen dengan fasilitas Victoria yang elegan.

Tiket kelas tiga berharga sekitar £7 pada tahun 1912 yang hampir £800 dalam uang hari ini. Tiket kelas kedua berharga sekitar £13 atau setara £1500 hari ini. Sedangkan tiket termahal seharga minimal £30 atau lebih dari £3300 di masa ini.

Tiket dengan harga tertinggi di Titanic memberikan penumpang akses ke ruang makan mewah serta ruang pertemuan berpanel kayu ek. Mereka yang berada di kelas satu juga bisa menikmati pemandian Turki, kolam renang air asin, jendela besar, dan orkestra.

Sayangnya, fasilitas mewah ini hanya dinikmati selama beberapa hari saja. Kapal fenomenal ini meluncur dari dok kering di Irlandia Utara pada awal 1912. Titanic berhenti untuk melakukan penjemputan di Cherbourg, Prancis, dan Queenstown, Irlandia, sebelum berbelok ke barat menuju New York.

Setelah terisi penuh, manifes hanya berjumlah lebih dari 2.200 orang. “Sepertiga penumpang adalah kru Titanic,” tutur Daniel Stone di laman Smithsonian Magazine.

Sedikitnya informasi tentang gunung es

Pada saat itu, masyarakat memiliki informasi yang terbatas tentang perilaku gunung es. Mereka paham jika sebagian besar mencair di suatu tempat di Lingkaran Arktik.

John Thomas Towson, penulis buku Practical Information on the Deviation of the Compass, mengamati pada tahun 1857 bahwa gunung es tidak berbeda dengan batuan yang terbentuk selama ribuan tahun oleh waktu dan tekanan.

Towson tahu bahwa gunung es menimbulkan bahaya eksistensial bagi lambung kayu kapal abad kesembilan belas. Lambung baja memang tak terkalahkan, namun itu hanya asumsi saja, bukan pengalaman.

Sejumlah gunung es yang begitu ekstrem bergerak ke selatan melalui selat timur Grand Banks di timur Newfoundland. Pada tahun 1912 Penjaga Pantai AS menjuluki daerah itu sebagai "gang gunung es."

Selama tiga tahun massa es itu terombang-ambing dan berkelok-kelok di perairan Arktik. Pada satu titik, massa itu melakukan perjalanan ke utara dan menghabiskan musim panas 1910 lebih jauh menuju kutub utara. Kemudian menangkap arus Labrador, yang membawa air beku ke selatan.

Sebagian besar gunung es mencair dalam tahun pertama dan kedua. 1 persen gunung es di belahan bumi utara yang bertahan di zona gurun ini. Akhirnya, hanya satu dari beberapa ribu gunung es yang akan mencapai 41 derajat utara. “Ini adalah garis lintang yang sama dengan New York City dan jalur kapal transatlantic,” tambah Stone.

Ketika tenggelam pada tahun 1912, Titanic tenggelam dengan kecepatan 4 km per jam. Kapal ini menghantam dasar laut dengan kecepatan lebih dari 48 km per jam. “Kuburannya” begitu terpencil sehingga lokasinya tetap menjadi misteri sampai tahun 1985. Saat itu, sebuah tim dengan kapal selam dan kapal laut dikembangkan pemerintah mengambil beberapa foto buram. Butuh tujuh puluh tiga tahun, hampir seumur hidup manusia, untuk menemukan kapal karam yang paling terkenal dan mempesona sepanjang masa.

Memburu kapal Titanic

Perburuan kapal Titanic begitu diminati sehingga dikisahkan di berbagai media. Sebagian besar orang melewatkan hal penting: apa yang terjadi dengan gunung es yang ditabrak oleh Titanic?

Gunung es selalu ada, tetapi salah satu yang menenggelamkan kapal penumpang terbesar itu hampir hilang. Setelah tiga tahun, massa es itu kemungkinan hanya memiliki satu minggu untuk bertahan, paling lama dua minggu. Gunung es menjadi semakin kecil saat mengarungi air yang lebih hangat.

Mencair dari bawah, gunung es pun jadi  semakin berat dan terbalik, diikuti oleh lebih banyak erosi. Sampai akhirnya, gunung es yang tadinya megah mencair hingga jadi seukuran bola basket dan perlahan hilang.

Menurut beberapa perkiraan, lebih banyak gunung es mengapung di sekitar hari ini daripada di era Titanic. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh air yang lebih hangat yang menyebabkan lebih seringnya pencairan gletser.

Kemajuan dalam radar, GPS, dan pemantauan pesawat mengurangi bahaya gunung es bagi kapal. Selain itu, teknologi kapal yang lebih canggih di zaman sekarang juga turut membantu menghindari tabrakan.

Tapi gunung es masih tetap menjadi ancaman. Pada tahun 2007, sebuah kapal pesiar kecil di dekat Antartika yang disebut MS Explorer ditabrak oleh gunung es yang tak terlihat. Setelah bongkahan itu mengenai sisi kanan, penumpang bergegas ke sekoci dan diselamatkan beberapa jam kemudian oleh kapal pesiar lainnya.

Ribuan gunung es bergerak di Samudra Atlantik dan mengancam kapal-kapal namun tidak ada yang setenar gunung es Titanic.


 

Apakah Alien Benar-Benar Ada?

Posted by BaronNight On 2:29 AM 0 comments


Alien hingga kini masih menjadi misteri. Pasalnya, meski diyakini oleh beberapa orang ada, tetapi makhluk luar angkasa ini belum pernah benar-benar ditemukan. Namun, bagaimana orang yang pernah pergi ke luar angkasa meyakini keberadaan alien?

Jeff Hoffman, seorang astronot badan antariksa AS (NASA) meyakini adanya kehidupan lain di alam semesta. Hoffman sendiri pernah melakukan lebih dari lima misi di antariksa dan menghabiskan 1.211 jam hidupnya di luar angkasa. "Saya percaya ada kehidupan di tempat lain di alam semesta," ungkap Hoffman dikutip dari Mashable, Sabtu (24/03/2018).

Seperti yang kita tahu, hanya 600 orang dari sekitar 108 miliar penduduk bumi yang telah menjelajah luar angkasa. Beberapa dari astronot tersebut kemudian duduk bersama dalam sebuah konferensi di Los Angeles dengan pembuat film Darren Aronofsky. Mereka berkumpul bersama untuk membuat video bertajuk One Strange Rock yang ditayangkan di National Geographic pada Senin (26/03/2018).

Dalam konferensi tersebut, mereka membahas kehidupan di bumi yang ajaib. Bayangkan saja, makhluk di bumi memiliki keunikannya sendiri. Contohnya, organisme bersel satu yang muncul dari bahan anorganik, yang berevolusi karena terlindung oleh medan magnet bumi dan ozon serta oksigen dan air yang mendukung.

"Anda melihat semua sistem ini... dan ini menakjubkan, semua hal harus bersatu untuk mewujudkan realitas besar ini," kata Aronofsky. Meski begitu, pertanyaan apakah alien benar-benar ada sangat sulit untuk dijawab. Apalagi alam semesta angat besar sehingga untuk menemukan alien mungkin susah.

"Kami pada dasarnya telah membuktikan bahwa setiap bintang memiliki planet," ujar Chris Hadfield, seorang astronot dari Kanada. "Lalu kamu mulai menghitung perkiraannya," imbuh pria yang telah menghabiskan 4.000 jam di luar angkasa itu.

Sayangnya, perhitungan tersebut juga sulit. Lagi-lagi masalahnya adalah betapa luasnya alam semesta. Jadi, perhitungannya pun disesuaikan dengan ukuran alam semesta.

Menurut astronot David Korneich, dalam batasan alam semesta yang teramati saja, mungkin ada septiliun bintang. Jika setiap bintang memiliki setidaknya satu planet, maka tampaknya tak terbayangkan bahwa tak ada kehidupan di tempat lain. "(Tetapi tetap saja) kami harus memikirkan berbagai hal untuk menemukan bukti," kata Mae Jamison, astronot wanita Afrika-Amerika di luar angkasa.

Meski percaya ada kehidupan lain di luar bumi, Hoffman juga terus mencari bukti. "Sebagai ilmuwan, saya mencari bukti," ujar profesor aeronautics dan astronautics di MIT teresebut. "Sampai sekarang, kita tidak punya bukti. Jadi saya tidak punya apapun untuk mendukung keyakinan saya. Tapi saya masih percaya," imbuhnya.

Hingga kini, kita tahu bahwa para ilmuwan dunia terus menerus menemukan bukti bahwa kehidupan bisa ada di tempat yang tak mungkin sekalipun. Salah satunya di Etiopia. Di negara tersebut, para peneliti menemukan bakteri yang hidup di danau asam. Bakteri tersebut bahkan hidupnya tergantung pada logam berat dan tidak membutuhkan oksigen.

Ini menjadi salah satu dugaan bahwa bisa jadi di suatu yang jauh dari bumi, ada kehidupan yang hadir. Mungkin saja ada sesuatu yang hidup di bawah es bulan Jupiter. "Kehidupan cenderung umum, tetapi rumit. Kehidupan cerdas sangat langka," ujar Hadfield.


Para arkeolog telah menemukan pedang berkarat abad pertengahan, atau pedang bermata satu yang digali di sebuah biara Kristen di Yunani utara. Pedang itu mungkin merupakan senjata mematikan yang digunakan oleh bajak laut Turki atau penjaga biara pada era Kesultanan Utsmaniyah atau Ottoman.

Penemuan pedang tersebut tidak biasa, karena senjata besi dari periode itu biasanya cepat berkarat. Gaya senjata ini juga tidak biasa. Meskipun pedang itu khas, para arkeolog tidak dapat memastikan dengan pasti siapa yang memegangnya, atau kapan.

Pedang bermata satu yang melengkung seperti itu ternyata juga diketahui digunakan oleh orang Turki dan Bizantium. Pedang seperti itu digunakan sekitar waktu serangan di abad ke-14, kata arkeolog Errikos Maniotis.

Pedang telah digunakan di tanah Turki selama berabad-abad. Misalnya, mereka digambarkan dalam manuskrip Seljuk bergambar dari abad ke-13 yang sekarang disimpan di Museum Istana Topkapi di Istanbul.

Maniotis adalah seorang kandidat doktor di Masaryk University di Brno di Republik Ceko, yang mempelajari pedang.

"Sulit untuk menentukan apakah pedang itu milik para pasukan Bizantium, atau mungkin milik (perampok) Turki," kata Maniotis kepada Live Science.

"Mereka keduanya menggunakan senjata serupa pada periode ini."

Penelitian oleh para arkeolog juga menunjukkan pedang seperti itu digunakan oleh tentara Bizantium. Mungkin mereka yang membantu mempertahankan biara dari serangan bajak laut Turki.


Ikon orang-orang kudus Bizantium dari abad ke-13 menggambarkan pedang bermata satu yang melengkung, dan diketahui bahwa tentara Bizantium menggunakan pedang itu sejak abad keenam, setelah menghadapi serangan saat melawan Avar nomaden dan Persia Sassanid, yang telah mengasimilasi mereka dari para pejuang stepa Eurasia.

Para arkeolog telah mengidentifikasi tiga aksi militer di abad ke-14 yang dapat menyebabkan penggunaan pedang di sana.

Yaitu serangan di sepanjang pantai oleh bajak laut Turki, yang mencakup penculikan pada tahun 1344 administrator dari biara Gunung Athos.

Kemudian pendudukan wilayah tersebut dari tahun 1345 hingga sekitar tahun 1371 oleh pasukan raja Serbia Stefan Dušan, yang bercita-cita untuk menaklukkan wilayah Bizantium di Barat.

Dan pengepungan Tesalonika oleh pasukan Kesultanan atau Kekaisaran Utsmaniyah dari tahun 1383 hingga 1387, ketika wilayah Chalkidiki sering diserbu karena perebutan sumber makanan.

Chaldiki yaitu wilayah yang juga disebut Chalcidice. Berada sekitar 40 mil (64 kilometer) tenggara kota Thessaloniki di pantai barat laut Laut Aegea.

Maniotis bekerja sama dengan Theodoros Dogas, seorang arkeolog untuk Ephorate of Antiquities of Chalcidice dan Mount Athos. Lembaga tersebut merupakan badan arkeologi pemerintah wilayah tersebut.

"Pedang itu bisa berasal dari salah satu dari setidaknya tiga peristiwa militer yang terjadi di wilayah itu pada abad ke-14," kata Maniotis dan Dogas.

Catatan sejarah menyebutkan sebuah biara di situs tersebut setidaknya dari abad ke-11. Meskipun tidak diketahui apakah itu independen atau metochi -sebuah "gereja kedutaan" dari biara Gunung Athos, sebuah bangunan kuat di paling timur semenanjung Chalkidiki.

Para arkeolog secara singkat menggali situs tersebut pada tahun 2000 dan 2001, ketika pedang bermata satu itu ditemukan. Tetapi penggalian tahun ini telah menetapkan bahwa biara itu dikelilingi oleh dinding kokoh yang terbuat dari batu granit setebal 5,5 dan 6 kaki (1,7 hingga 2 meter).

Biara dan gereja yang dibangun dengan baik seperti itu sering digunakan sebagai tempat perlindungan lokal selama serangan, seperti serangan bajak laut.


Pusat-pusat gerejawi ini mungkin juga memiliki kekayaan mereka sendiri, seperti barang-barang keagamaan yang terbuat dari emas. Dan sering kali menyimpan persediaan biji-bijian.

Faktanya, para arkeolog telah menemukan biji-bijian biji-bijian di tingkat bawah menara di biara. Penelitian menunjukkan bahwa menara itu dulunya jauh lebih tinggi. Ada bukti bahwa struktur itu rusak parah akibat kebakaran di beberapa titik.

Senjata, termasuk kapak, panah, dan pedang bermata satu, ditemukan di lapisan arkeologi yang sama dengan kerusakan akibat kebakaran.

"Ini adalah bukti yang membawa kita untuk menyimpulkan bahwa menara dihancurkan oleh api yang kuat setelah serangan," tulis para peneliti.

Para arkeolog juga menemukan sejumlah besar bejana tembikar berlapis kaca, terutama dari abad ke-14, di lapisan yang sama.

Maniotis tidak bisa mengatakan dengan pasti asal pedang itu, tapi dia pikir pedang itu mungkin berasal dari Turki. Hampir 18 inci (45 sentimeter) bilah pedang tetap utuh, tetapi tidak cukup untuk menentukan dari bentuknya saja apakah itu berasal dari Turki atau Bizantium.

"Tapi itu memiliki sejarah penting dalam hal apapun," tulis para peneliti.

Pedang itu mungkin salah satu dari sedikit pedang dari era Kesultanan Utsmaniyah yang ditemukan di Yunani. Penemuan pedang dan artefak lain dari penggalian akan menjadi subjek makalah penelitian yang akan datang, kata Maniotis dan Dogas.


Awalnya, para ilmuwan tidak mengetahui jenis gurita ini ketika mereka mengambil telurnya dari laut. Namun, saat mulai menetas, terlihat telinganya yang seperti gajah.

Cephalopoda yang menggemaskan ini dikenal dengan sebutan gurita dumbo (genus Grimpoteuthis). Namanya diambil dari tokoh gajah terbang di film produksi Disney, Dumbo. Alasannya karena gurita ini mudah dikenali dari sirip lebar miliknya yang berada di samping kepala – persis seperti telinga gajah.

Sirip tersebut digunakan gurita dumbo untuk berenang di laut dalam.

Pada sebuah video yang dipublikasikan para ilmuwan dari National Oceanic and Atmospehric Administration (NOAA), terlihat gurita dumbo yang baru lahir, berenang untuk pertama kalinya dalam sebuah cawan berisi air.

Mantel tipisnya – cangkang bulat di atas tentakel di mana organ internal gurita dumbo berada – berukuran 0,5 inci atau 13 milimeter. Pindai MRI dan rekonstruksi 3D dari bayi gurita dumbo ini menunjukkan bahwa ia lahir dengan semua yang dibutuhkan untuk berenang dengan sirip, merasakan sekelilingnya dan menangkap mangsa.  

Bayi tersebut bahkan memiliki kantong kuning besar yang mengandung nutrisi. Cukup untuk menjaganya tetap hidup selama beberapa hari setelah menetas – ketika ia belum bisa mendapatkan makanannya sendiri.

“Eksplorasi visual dan rekonstruksi 3D anatomi makhluk bawah laut ini sangat menakjubkan. Saya terkesan dengan kompleksitas sistem saraf pusat, ukuran sirip, dan cangkangnya,” kata Alexander Ziegler, peneliti di Rheinische Friedrich-Wilhelms-Universität Bonn.

Para ilmuwan menggunakan kendaraan yang dioperasikan dari jarak jauh untuk mengumpulkan telur-telur di terumbu karang Atlantik -- sekitar 1,2 mil (2000 meter) di bawah permukaan laut.

Menurut Aquarium of The Pacific, gurita dumbo biasanya tinggal di dasar samudra dengan kedalaman 3000 hingga 4000 meter. Bahkan, ada juga yang tinggal di kedalaman 7000 meter.




 

Stargazer, Ikan Bermuka Unik

Posted by BaronNight On 6:20 AM 0 comments

 

Ini ikan apa? Setidaknya itu yang timbul di benak saya ketika melihatnya pertama kali pada salah satu media cetak khusus bawah air. Mukanya yang cukup seram terlihat seperti muka manusia, yang tercetak di permukaan pasir, sangat aneh dan unik ! dan saya pun langsung memasukannya ke dalam daftar biota laut yang harus saya punya gambarnya.

Tetapi keinginan tidak sejalan dengan yang didapat. Ikan ini ternyata sangat susah ditemukan. Kebasaannya yang suka menyembunyikan diri di dalam pasir, untuk menunggu mangsanya, membuat stargazer menjadi tersamar dengan pasir.

Ikan ini sendiri adalah famili dari Uranoscopidae, dari ikan perciform yang memiliki mata di atas kepala mereka. Famili ini mencakup sekitar 51 spesies (satu spesies sudah punah) dalam delapan genera, yang semuanya merupakan satwa laut. Ika Stargazer dapat ditemukan di seluruh dunia di perairan asin, baik dangkal maupun dalam.

Selain mata yang terpasang di atas, stargazer juga memiliki mulut besar yang menghadap ke atas dengan kepala besar. Kebiasaan mereka yang biasa adalah mengubur diri mereka di pasir, dan melompat ke atas untuk menyergap mangsa, yang lewat di atas kepala.

Beberapa spesies memiliki pemancing berbentuk cacing yang tumbuh dari lantai mulut mereka, yang mereka goyangkan untuk menarik perhatian mangsanya. Ikan-ikan kecil dan mahluk-mahluk invertebrata laut, menjadi mangsa favorit si stargazer. Sirip punggung dan duburnya relatif panjang.

Stargazers termasuk ikan yang berbisa. Mereka memiliki dua duri berbisa besar yang terletak di belakang operater mereka dan di atas sirip dada mereka. Spesies dalam genera Astroscopus dan Uranoscopus juga dapat menyebabkan sengatan listrik. Spesies Astroscopus memiliki satu organ listrik yang terdiri dari otot mata yang dimodifikasi, sedangkan spesies Uranoscopus berasal dari otot sonik.

Mereka adalah beberapa dari sedikit ikan biokarbon bioaktif hidrogen, yang lainnya adalah ikan patin bergaris. Kedua genera ini di dalam stargazer berada di luar delapan evolusi independen bioelectrogenesis. Mereka juga unik di antara ikan listrik karena tidak memiliki electroreceptors khusus.

Stargazers ternyata juga merupakan ikan yang lezat rasanya. Dan tidak usah kuatir akan racunnya, karena racunnya itu, tidak akan berfungsi saat dimakan. Di beberapa tempat, ikan ini dijual dengan organ beracun yang dilepas.

Saya sendiri baru menemukannya setahun yang lalu, di Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Itu pun secara tidak sengaja. Ketika saya menyisir pasir hitam yang menjadi karakter dasar air Selat Lembeh, saya melihat satu seringai yang terlukis di permukaan pasir. Hati saya pun berdebar cukup kencang, dalam pikiran saya, saya sudah membayangkan bahwa ini adalah hewan yang saya sudah tunggu-tunggu untuk saya potret.

Perlahan saya kibaskan tangan saya di atas seringai itu, dan benar saja, mata nya pun mulai terlihat. Betapa senangnya hati saya, dan dengan segera saya mengambil gambar si muka aneh ini dalam beberapa angle. Sampai akhirnya saya pun harus menyudahi penyelaman ini, karena divecom saya sudah berbunyi, tanda waktu menyelam saya di kedalaman 18 meter itu sudah saya habis. Saya pun segera naik dengan senyum lebar.

Dunia bawah air, memang tak henti-hentinya membuat saya takjub dengan segala keindahan dan keunikannya. Saya pun sudah tidak sabar untuk segera ke darat, membuka laptop saya, dan melihat kembali hasil-hasil jepretan tadi. Gambar si muka aneh, stargazer fish.


Di lokasi di bagian tengah Mars, para ilmuwan telah menemukan lapisan es yang terkubur hanya beberapa meter di bawah permukaan planet merah. Temuan ini menambah detail krusial pada sejarah geologi Mars, dan mungkin menentukan bagaimana manusia masa depan di Mars mendapatkan air.

“Ini adalah jendela baru menuju es bawah tanah di Mars,” kata Colin Dundas, ahli geologi dari Geological Survey Amerika Serikat yang menjadi salah satu penemu lapisan es.

Para ilmuwan telah lama berteiru bahwa persediaan air dalam bentuk es terkunci di bawah tanah Mars. Pada 2002, misi Odyssey NASA memindai planet tersebut dari orbit dan mendeteksi tanda-tanda es bawah tanah yang cukup dangkal di garis lintang tinggi. Sementara pada 2008, misi Phoenix NASA menggali es di situs pendaratannya di dekat kutub utara Mars.

Baca juga: Laut Purba di Mars Simpan Petunjuk Asal Mula Kehidupan di Bumi

Pada akhir 2016 lalu, dengan menggunakan Mars Reconnaissance Orbiter (MRO) para ilmuwan menemukan lapisan es dengan air setara Danau Superior terkubur di garis lintang Mars. Namun sampai penelitian Dundas yang diterbitkan Kamis (11/1/2018) di jurnal Science, para ilmuwan kesulitan untuk memahami luas dan aksesibilitas lapisan es bawah permukaan Mars.

Delapan situs yang ditampilkan dalam studi baru ini mencakup tebing curam
mirip potongan kue
yang terdampak erosi sehingga menampilkan lapisan bebatuan dan es yang bisa dilihat MRO dari atas. Lapisan es pertama terlihat antara 0,9 meter sampai dengan 1,8 meter di bawah tanah. Hal ini menurut Dundas, mendukung gagasan bahwa pertengahan garis lintang Mars secara berkala mengalami hujan salju besar jutaan tahun silam, ketika Mars miring pada porosnya dengan sudut yang lebih curam daripada sekarang.

“Ini merupakan gambar-gambar luar biasa yang menangkap es di bawah permukaan yang diprediksi oleh teori,” ujar ilmuwan planet di Caltech, Bethani Ehlmann, yang tak terlibat dalam studi.

“Selain itu, kita mungkin juga bisa mengeluarkan es untuk mengetahui perubahan iklim di Mars baru-baru ini, seperti yang kita lakukan di Bumi.”

Penemuan ini juga bisa mempengaruhi bagaimana astronaut masa depan—yang suatu hari mungkin akan mendarat di garis lintang tengah Mars—melepaskan dahaga mereka.

Misi manusia ke Mars cenderung bergantung pada mengekstrak air dari lingkungan lokal, atau memanggangnya dari mineral terhidrasi, maupun menambangnya dari endapan es. Manusia kemudian dapat meminum air tersebut atau memecahnya menjadi hidrogen dan oksigen, yang kemudian dapat digunakan untuk membuat udara untuk bernafas, dan metana untuk bahan bakar roket.

Studi NASA pada tahun 2016 dengan jelas menyatakan, satu sendok es mungkin menghasilkan lebih banyak air ketimbang satu sendok mineral, tetapi jika untuk mendapatkan es ini kita perlu menggali lapisan batu hingga 9 meter, tentu opsi ini tidak efisien. Gambar-gambar di atas telah mengubah persepsi, bahwa ternyata, lapisan es tersedia hanya beberapa meter di bawah permukaan planet.

“Itu terlihat lebih menggembirakan karena es dapat tersedia di kedalaman yang cukup dangkal, sehingga bisa digunakan sebagai sumber daya bagi misi manusia ke Mars,” ujar Angel Abbud-Madrid, direktur Center for Space Resources di Colorado School of Mines.


Baru-baru ini, para peneliti menemukan bahwa harimau Tasmania telah ada jauh sebelum manusia berburu hewan marsupial dan memecahkan teka-teki kepunahannya.

Temuan yang dipublikasikan pada hari Selasa (12/12/2017) tersebut menunjukkan bahwa harimau ini memiliki kondisi genetik yang buruk selama ribuan tahun sebelum punah.

Para ilmuwan memetakan secara genetik hewan dikenal sebagai thylacine ini menggunakan gen dari sampel seekor anakan yang disimpan selama lebih dari satu abad lalu di dalam toples.

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Ecology and Evolution ini mengungkapkan bahwa makhluk tersebut mulai mengalami penurunan keragaman genetik lebih dari 70.000 tahun yang lalu.

Hal itulah yang membuat mereka kurang tahan terhadap perubahan lingkungan

"Harapan kami adalah ada banyak thylacine yang bisa memberi tahu tentang basis genetik dari kepunahan mereka untuk membantu spesies lain," kata Andrew Pask, co-author penelitian ini dikutip dari AFP, Selasa (12/12/2017).

Pask juga menambahkan bahwa penelitian ini membuka peluang para ilmuwan mengkloning harimau Tasmania dan membawanya kembali dari kepunahan.

"Karena genom ini adalah salah satu spesies yang paling lengkap untuk spesies yang sudah punah, secara teknis ini merupakan langkah pertama untuk \'membawa thylacine kembali\', tapi kita masih jauh dari kemungkinan itu," sambungnya.

Harimau Tasmania sendiri pernah tersebar luas di seluruh Australia. Sayangnya, hewan ini telah hilang dari daratan sekitar 3.000 tahun lalu.

Kemungkinan besar, hal itu disebabkan oleh kekeringan. Mereka sebelumnya dapat bertahan di negara bagian Tasmania selatan hingga 1936.

Harimau Tasmania terakhir diketahui mati di penangkaran Kebun Binatang Hobart.

Para ilmuwan menemukan, genetika hewan tersebut lebih dekat dengan sesama marsupial Australia, Tasmanian devil (Sarcophilus harrisii), dibandingkan dingo (anjing asli Australia) yang berbagi ciri fisik yang mirip.

Harimau Tasmania. (Tasmanian Museum and Art Gallery)
Kemiripan fisik dua hewan tersebut adalah contoh terbaik dari apa yang oleh para ilmuwan disebut "evolusi konvergen". Artinya, kedua hewan yang berhubungan jauh tersebut berevolusi untuk terlihat serupa dengan beradaptasi pada lingkungan yang sama.

Dalam kasus harimau Tasmania dan dingo, kepala dan tubuh mereka berkembang dengan cara yang sama karena teknik berburu mereka. Oleh karena itu, harimau Tasmania sering kali dikenal sebagai anjing karena penyimpangan genetis pada 160 juta tahun lalu.

"Ketika kita melihat dasar evolusi konvergen ini, kami menemukan bahwa sebenarnya bukan gen itu sendiri yang menghasilkan tengkorak dan bentuk tubuh yang sama, namun daerah kontrol di sekitar mereka yang \'menghidupkan dan mematikan\' gen pada tahap berbeda dalam pertumbuhan," ujar Pask.

"Ini mengungkapkan keseluruhan pemahaman baru tentang proses evolusi. Sekarang kita dapat mengetahui genom ini untuk membantu memahami bagaimana dua spesies berkumpul pada tampilan yang sama, dan bagaimana proses evolusi bekerja," tutupnya.


Berabad-abad yang lalu, hubungan ayam dan manusia tidak seperti di zaman sekarang, ayam menjadi makanan paling populer di dunia. Para peneliti telah menemukan bahwa ayam bukanlah hidangan bagi manusia saat itu, ayam dipuja dan dimuliakan karena ayam dianggap eksotis.

Ayam peliharaan pertama yang dijinakkan bukanlah ayam yang besar seperti di zaman sekarang. Ukurannya sekitar sepertiga ayam modern dengan warnan yang mencolok. Karena ayam-ayam memiliki suara yang khas sehingga orang-orang memandangnya sebagai hal baru, menarik, dan misterius daripada dianggap sebagai makanan.

Faktanya, kira-kira 500 tahun telah berlalu antara saat ayam pertama kali tiba di Eropa, dan saat ayam mulai digunakan secara luas sebagai makanan. Dengan kata lain, makan ayam di Eropa tengah pada 500 SM, mungkin setara dengan memakan burung beo besar hari ini.

"Ayam, pada awalnya, adalah hal yang menakjubkan,” kata rekan penulis studi Greger Larson, direktur jaringan penelitian paleogenomik dan bio-arkeologi di Oxford University di Inggris.

Sementara orang-orang saat ini berebut untuk mendapatkan "apa pun yang dimiliki keluarga Kardashian," ribuan tahun yang lalu "itu pasti seekor ayam," kata Larson kepada Live Science. "Itulah yang diinginkan semua orang."

Sekitar 80 juta ayam (Gallus domesticus) ada di Bumi saat ini. Di Amerika ayam khas yang dibesarkan untuk diambil dagingnya hanya akan hidup enam minggu sebelum disembelih, dan ayam petelur mungkin akan hidup selama dua hingga tiga tahun.

Akan tetapi sebelum ada ayam peliharaan, manusia mengenal nenek moyang liar mereka, yaitu ayam hutan merah (Gallus domesticus) dari Asia Tenggara. Di mana ayam-ayam itu membuat ceruk makan buah dan biji-bijian, terutama di hutan bambu yang lebat.


Kisah bagaimana ayam hutan ini menjadi salah satu makanan paling populer di Bumi memiliki asal-usul yang sulit. Itu karena penelitian arkeologi di Asia Tenggara yang berhutan lebat sangat menantang, dan para arkeolog tidak selalu memperhatikan artefak kecil seperti tulang ayam.

"Terlebih lagi, tulang ayam dengan mudah tenggelam ke dalam tanah atau terganggu oleh penggalian mamalia, konstruksi manusia, dan gangguan lainnya," kata rekan penulis studi Joris Peters, seorang ahli arkeolog di Ludwig Maximilian University of Munich.

Manusia dan ayam mungkin telah dikaitkan hanya sekitar 3.500 tahun. Sekitar 1500 SM, orang-orang di Asia Tenggara mulai menanam padi dan millet secara kering, sebuah proses yang melibatkan pembukaan area hutan dan penanaman ladang dengan biji-bijian sekaligus.

Itu akan menarik ayam hutan merah, dan orang-orang mungkin menganggap burung berwarna-warni ini sangat menawan. "Mereka sangat mudah ditoleransi, dan mereka sangat menawan," kata Larson.

Saat ayam hutan bergantung pada manusia untuk makanannya, proses domestikasi dimulai. Sekitar 1000 SM, ayam hutan kemudian dipelihara.

Ayam kemudian menyebar ke Tiongkok tengah, Asia Selatan, dan Mesopotamia, mungkin di sepanjang rute perdagangan yang mirip dengan Jalur Sutra, yang akan menjadi lebih banyak dikunjungi sekitar tahun 200 SM.

Suatu saat antara sekitar 800 SM dan 700 SM, ayam mencapai Tanduk Afrika sebagai bagian dari perdagangan maritim yang berkembang. Pelaut Yunani, Etruscan, dan Fenisia mungkin menyebarkan ayam ke seluruh Mediterania.


Ayam tiba di Italia sekitar 700 SM dan berhasil sampai ke Eropa tengah antara sekitar 400 SM dan 500 SM. Menariknya, banyak kerangka ayam yang ditemukan di Eropa antara tahun 50 SM hingga 100 M.

Di zaman itu, ayam dikaitkan dengan penguburan. Laki-laki sering dikubur dengan ayam jantan, dan wanita dengan ayam betina, dan ayam-ayam ini kemungkinan penting bagi orang-orang dengan siapa mereka dikuburkan.

Namun, menurut Larson, kemudian 'keakraban melahirkan penghinaan'. Ayam tidak lagi dianggap eksotis dan dihormati. Alih-alih dipuja dan dimuliakan, ayam mulai dipelihara untuk diambil telurnya.

Pada zaman Kekaisaran Romawi, telur sangat populer sebagai makanan ringan di stadion. Bukti pertama konsumsi ayam secara luas di Inggris yang dikuasai Romawi berasal dari sekitar abad pertama Masehi.

Menurut Larson, tidak jelas bagaimana pergeseran itu terjadi. Akan tetapi mungkin saja memiliki ayam selama berabad-abad membuat manusia mengevaluasi kembali hubungan mereka.

"Arkeologi masa depan kemungkinan akan membantu menyempurnakan sejarah ayam," kata Larson. "Terutama di Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik."


Sejarah invasi pasukan Romawi di muka bumi ini sudah diakui banyak bangsa. Namun, belum banyak yang mengetahui bahwa Julius Ceaser dan pasukannya pernah merambah tanah Inggris Raya.

Sejarah mencatat bahwa 800 kapal pasukan Romawi pernah mendarat di Inggris sekitar abad 55 SM. Invasi pertama yang dipimpin langsung Julius Cesar, Cicero dan Tacits tersebut sempat dipertanyakan di kalangan ilmuwan karena belum menemukan bukti otentik peninggalan perang atau sisa-sisa barak prajurit.

Namun, kini para ilmuwan di Inggris bisa menaruh harapan baru atas pencarian jejak Sang Kaisar Julius Cesar di Inggris.

Dikutip dari Telegraph, Selasa (29/11/2017) sebuah situs mirip pertahanan prajurit Romawi ditemukan di tengah pembangunan proyek jalan di Kent.

Sejumlah arkeolog dari Universitas di Leicester dan Pemerintah Daerah Kent segera mendatangi Dusun Ebbsfllet dimana lokasi penemuan berada.

Temuan di wilayah Isle of Thanet tersebut berupa parit yang desainnya mirip pertahanan Romawi di Alésia, Prancis, lokasi pertempuran dalam Perang Galia pada abad 52 SM. Selain itu, arkeolog juga menemukan senjata tajam berupa tombak.

Hal lain yang ditemukan arkeolog di lokasi tersebut adalah topografinya. Teluk Pegwell adalah satu-satunya teluk di sekitar lokasi yang mampu menampung armada kapal yang begitu besar, ciri dari kapal perang pasukan Romawi. Lokasi seperti itu merupakan favorit dari Julius Cesar yang dikenal sebagai ahli strategi perang. 

"Caesar menggambarkan bagaimana kapal-kapal itu berlabuh di sebuah pantai terbuka dan rusak karena diterjang badai besar. Deskripsi ini konsisten dengan Teluk Pegwell yang terbuka dan rata, dan kini merupakan teluk terbesar di pantai timur Kota Kent," kata Dr Andrew Fitzpatrick, seorang peneliti dari University of Leicester.

Saking besarnya, Fitzpatrick tidak meragukan bila teluk tersebut mampu menampung 800 kapal berisi tentara Romawi yang mendarat dalam satu hari.

"Caesar juga menjelaskan bagaimana prajurit Inggris berkumpul untuk menyerang pasukan Romawi saat mendarat, tetapi terkejut dengan jumlah pasukan Romawi dan akhirnya memilih bersembunyi di tempat yang lebih tinggi. Lokasi ini sesuai dengan gambaran lokasi dataran tinggi di Isle of Thanet di sekitar Ramsgate," kata Fitzpatrick.

Pada abad pertengahan, Thanet belum pernah dianggap sebagai lokasi pendaratan tentara Romawi, karena lokasinya yang jauh dari daratan. Justru sebagian besar sejarawan berspekulasi bahwa pendaratan terjadi di Deal, yang terletak di sebelah selatan Teluk Pegwell.

Sementara itu, situs parit pertahanan di Ebbsfleet memiliki kedalaman sekitar 2 meter dan lebar sekitar 4-5 meter dan penanggalan menunjukkan bhawa parit dibuat pada sekitar abad ke 1 SM.

Bukti baru ini menjawab sejumlah pertanyaan para ilmuwan terkait sepak terjang Julius Caesar. Salah satunya, apakah invasi Romawi di Inggris gagal?

"Tampaknya perjanjian yang dibentuk oleh Caesar menjadi dasar bagi aliansi antara keluarga kerajaan Roma dan Inggris. Ini akhirnya mengakibatkan penguasa terkemuka Inggris tenggara menjadi klien Roma," kata Profesor Colin Haselgrove dari Universitas Leicester.

Dia melanjutkan, hampir 100 tahun setelah Caesar, pada tahun 43, Kaisar Claudius menyerang Inggris. Penaklukan Inggris Tenggara terjadi dengan sangat cepat, kemungkinan karena raja-raja di wilayah tersebut sudah bersekutu dengan Roma.

Setelah kejadian itu, Haselgrove berkata bahwa penjajahan Romawi secara permanen di Inggris dimulai, dan invasi merembet ke Wales dan beberapa daerah di Skotlandia selama hampir 400 tahun.

Invasi tersebut menjadi bukti sikap Claudius yang terus mengeksploitasi warisan Caesar.


Jejak sauropoda, dinosaurus pemakan tumbuhan, telah digali di Pegunungan Jura, Prancis. Kumpulan jejak kaki yang membentang hingga sepanjang 155 meter ini merupakan jejak sauropoda terpanjang yang pernah diketahui.

Jejak dinosaurus tersebut terletak kurang dari 1 km di sebelah barat Desa Plagne, Departemen Ain, Pegunungan Jura di selatan Prancis. Jejak tersebut ditemukan oleh Société des Naturalistes d\'Oyonnax, kelompok geolog amatir yang berfokus pada Era Jura sejak 2009.

Tim ahli paleontologi dari Paléoenvironnements et Paléobiosphère research unit di Claude Bernard Lyon 1 University kemudian mengkonfirmasi panjang bentangan jejak kaki itu. Hasilnya, dengan bentangan sejauh 155 meter, jejak kaki dinosaurus sauropoda ini memang menjadi yang terpanjang di dunia, mengalahkan jejak kaki sauropoda yang ada di Galinha, Portugall. Laporan studi mereka kemudian diterbitkan dalam jurnal Geobios edisi Agustus 2017.

Jalur jejak tersebut terdiri dari 110 langkah berturut-turut, dan umumnya terpelihara dengan baik. Diameter satu jejak kakinya sekitar 1-3 m.

Jejak tersebut juga mengungkap lima jari eliptikal yang tersusun mengelilingi telapak kaki.

Sauropoda, yang membuat jejak-jejak tersebut, merupakan dinosaurus berleher panjang yang hidup sekitar 150 juta tahun lalu. Masa itu disebut Tithonian, atau era terakhir dari Zaman Jura Akhir.

"Rekonstruksi paleogeografi di Eropa Barat untuk tahap ini menunjukkan pemandangan kepulauan, di mana pulau-pulau yang muncul terkadang saling terhubung saat permukaan laut surut. Hal tersebut memungkinkan ekspansi atau migrasi fauna," tulis para peneliti.

Analisis biometrik menunjukkan bahwa dinosaurus sauropoda dari wilayah Plagne, Prancis, setidaknya memiliki tubuh sepanjang 35 meter, berat antara 35-40 ton, lebar langkah rata-rata 2,8 m, dan berjalan dengan kecepatan 4 km/jam.

"Situs jejak kaki baru ini, bersama situs lain era Jurasik Awal di Swiss dan Prancis yang menyimpan ribuan jejak kaki sauropoda dan theropoda, dapat dianggap sebagai mega situs jejak dinosaurus terbesar di Eropa," pungkas para ahli.


Para arkeolog di Eropa mengungkapkan bagaimana unta perang yang digunakan pasukan Kesultanan Utsmaniyah atau Ottoman bisa sangat cocok untuk militer. Mereka menemukan, bahwa rahasia unta-unta perang Kesultanan Utsmaniyah adalah perkawinan silang.

Laporan lengkap penelitian tersebut telah mereka terbitkan di jurnal PLoS ONE dengan judul "A Sunken Ship of the Desert at the River Danube in Tulln, Austria."

Tim peneliti yang dipimpin oleh Alfred Galik dari University of Veterinary Medicine Vienna telah menemukan kerangka unta lengkap di sebuah lubang pembuangan besar di Tulln, Austria. Setelah diidentifikasi, kerangka tersebut diketahui berasal dari masa perang Ottoman-Habsburg.

"Kerangka yang sebagian digali itu awalnya diduga kuda atau sapi besar. Akan tetapi sekali melihat vertebra atau tulang belakang, rahang bawah, dan tulang metakarpal (bagian kaki) segera mengungkapkan bahwa ini adalah unta," kata Galik, yang merupakan penulis pertama makalah tersebut.

Tulang unta telah ditemukan di Eropa sejak zaman Romawi. Tulang terisolasi atau kerangka tidak lengkap diketahui dari Mauerbach dekat Wina serta dari Serbia dan Belgia. Namun kerangka unta lengkap unik ditemukan di Eropa Tengah.

Galik dan rekan-rekannya dari Austria melakukan analisis anatomi dan morfometrik (terkait ukuran tubuh) ekstensif. Mereka menemukan bahwa unta Tulln adalah jantan dan hibrida.

Unta tersebut merupakan hasil perkawilan silang dari induknya unta dromedarius (Camelus dromedarius), dan jantannya unta baktria (Camelus bactrianus).

Menurut Galik, perkawinan silang seperti itu tidak biasa pada saat itu. Unta hibrida lebih mudah ditangani, lebih tahan lama, dan lebih besar daripada induknya. Unta-unta ini sangat cocok untuk penggunaan militer.

"Kedua spesies (unta dromedaris dan baktria) dapat kawin silang, yang menghasilkan keturunan hibrida yang lebih besar, lebih kuat, dan efisien," kata Galik.

Galik menjelaskan, bahwa perkawinan silang mungkin terjadi pertama kali di Asyur pada awal milenium 1 SM. Dan teknik ini berlanjut pada zaman kuno menuju zaman modern.

Menurut para peneliti, hibridisasi ditingkatkan ketika orang-orang Arab masuk ke Iran dan Asia Tengah. "Jelas, hibrida seperti itu sangat penting dalam pasukan Ottoman terutama untuk transportasi tetapi juga sebagai hewan tunggangan," tulis para peneliti.

"Kemunculan pertama unta, tentara yang bertarung dengan busur di atas punggung unta, tercatat selama invasi Xerxes di Yunani 481 SM."

Peneliti mengatakan, bahwa hari ini, hibridisasi memfasilitasi peningkatan hasil susu dan wol pada unta Tulu atau unta Nar hibrida dari negara-negara Timur Tengah dan Asia Tengah.


Umumnya, dikenal dua metode hibridisasi, Kurt-nar (dromedari betina x baktria jantan) dan Kez-nar (baktria betina x dromedari jantan). Kemudian diikuti oleh persilangan balik F1 dengan dromedari untuk meningkatkan produktivitas susu atau unta baktria untuk hasil wol yang lebih tinggi dan tahan dingin.

Tentara Utsmaniyah menggunakan kuda serta unta untuk transportasi dan sebagai hewan tunggangan. Dalam kasus kelangkaan, para prajurit juga memakan daging hewan tersebut, termasuk unta Tulln.

"Artinya hewan itu tidak dibunuh lalu disembelih. Itu mungkin diperoleh sebagai bagian dari pertukaran,” jelas Galik.

"Selain tulang binatang, penggalian juga menemukan piring keramik dan barang-barang lainnya."

Untuk diketahui juga, berdasarkan sebuah koin—yang disebut Rechenpfenning, berasal dari zaman Louis XIV memberi tanggal penemuan hingga tahun antara 1643 dan 1715."

"Sebuah botol obat yang mengandung Theriacum, obat abad pertengahan dari toko kimia 'Apotheke zur Goldenen Krone' di Wina juga ditemukan di lokasi tersebut. Apotek ini ada antara tahun 1628 dan 1665, yang membantu menentukan tanggal situs dengan lebih presisi," kata Galik.


Dryococelus australis
,
 serangga tongkat langka dari Pulau Lord Howe di Australia, ibarat bangkit dari kematian. Sempat disangka punah sekitar tahun 1930-an, kini, berkat pengujian DNA terbaru, serangga yang dijuluki sebagai lobster pohon itu kembali ditemukan.

Lobster pohon memiliki tubuh sepanjang hampir 15 cm berwarna cokelat kehitaman dengan perut kokoh dan enam kaki panjang. 

Penurunan populasi besar-besaran pada spesies ini bermula ketika sebuah sebuah kapal karam di perairan dekat Pulau Lord Howe. Selain awak kabin, kapal itu juga mengangkut segerombolan tikus yang dengan cepat menginvasi pulau tersebut. 

Dengan tidak adanya mamalia besar yang memangsa tikus, populasi hewan pengerat itu pun meledak, sehingga menyebabkan kepunahan serangga lobster pohon dan lima spesies burung. 

Tiga puluh tahun berselang, sekelompok pemanjat tebing menemukan sisa-sisa serangga yang diduga kuat merupakan lobster pohon di Piramida Ball, sisa erosi gunung berapi dan kaldera yang berjarak sekitar 23 km dari Pulau Lord Howe. 

Tahun 2001, para peneliti kembali ke Piramida Ball dan menemukan spesimen hidup yang tampak seperti serangga tongkat Pulau Lord Howe. Serangga tersebut kemudian dikumpulkan dan dibawa ke penangkaran di Kebun Binatang Melbourne.

Meski begitu, identitas serangga tersebut masih menjadi topik perdebatan. Secara penampilan, serangga tongkat di penangkaran tampak berbeda. Mereka memiliki tubuh berwarna cokelat yang lebih gelap, dan kaki belakangnya lebih tipis dibanding spesimen dari Pulau Lord Howe yang diawetkan di museum. 

Sepasang lobster pohon (Dryococelus australis) di atas daun. (Rohan Cleave/Melbourne Zoo, Australia)
Setelah pengurutan genom dilakukan terhadap spesimen di museum maupun penangkaran, para ilmuwan menyadari bahwa keduanya hanya memiliki variasi genetik kurang dari satu persen. Artinya, cukup untuk mengklasifikasi mereka sebagai spesies yang sama. Hasil studi ini kemudian diterbitkan dalam jurnal Current Biology. 

Sementara itu, hingga saat ini penyebab perbedaan fisik di antara spesimen museum dan penangkaran masih menjadi misteri. Periset menduga, hal itu mungkin berkaitan dengan variasi pada kondisi lingkungan atau umur individu. 

Pemerintah Australia kini berencana untuk menekan populasi tikus invasif di Pulau Lord Howe, dan mungkin mengenalkan kembali serangga tongkat ke habitat aslinya. 

Meski serangga tongkat asal Pulau Lord Howe ini ternyata belum punah, mereka tetap berstatus Kritis. Jumlah pasti individu yang tersisa di alam liar tidak diketahui, karena Piramida Ball hanya bisa dicapai oleh para pemanjat tebing. 




 


Arkeolog telah menemukan jaringan reruntuhan bawah laut luas yang membentuk kota Romawi kuno. Kota yang pernah dikenal sebagai Neapolis ini tenggelam setelah dihantam tsunami dahsyat sekitar 1.700 tahun silam. 

Penemuan itu mencakup jalan, monumen, dan ratusan tangki yang biasa digunakan untuk memproduksi garum—saus ikan fermentasi yang merupakan bumbu populer dan komoditi utama masyarakat Romawi  serta Yunani kuno.

Ekspedisi untuk menemukan Neapolis melibatkan para peneliti dari Tunisian National Heritage Institute dan University of Sassari di Italia. Meski sudah berjalan sejak 2010, namun penemuan besar baru terjadi di tahun ini berkat kondisi cuaca yang bersahabat. 

"Penemuan besar ini memungkinkan kita menetapkan dengan pasti bahwa Neapolis merupakan pusat utama untuk pembuatan garum dan ikan asin, mungkin pusat terbesar di dunia Romawi," kata kepala tim, Mounir Fantar. 

Reruntuhan itu terhampar hingga 20 hektar, dan menunjukkan bahwa Neapolis memang sebagian terendam oleh tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi pada tanggal 21 Juli 365.

Peristiwa itu dicatat oleh sejarawan Ammien Marcellin, dan bencana alam yang sama diperkarakan telah menyebabkan kerusakan besar di Alexandria, Mesir, dan di Pulau Kreta, Yunani pada masa itu.

Saat itu, belum ada alat ukur ilmiah, namun sejarawan menganggap gempa tersebut terdiri dari dua getaran, dengan yang terbesar mencapai magnitude 8,0. Kekuatan tersebut cukup untuk mendorong bagian-bagian Pulau Kreta hingga 10 meter.

Pertama kali ditemukan pada abad ke-5 SM, Neapolis memiliki arti "kota baru" dalam bahasa Yunani. Situs bawah laut ini berada di sebelah kanan Kota Nabeul,  timur laut Tunisia, yang merupakan tempat wisata populer saat ini dan terkenal dengan gerabahnya. 

Kota Neapolis beberapa kali berpindah tangan di antara faksi-faksi yang berperang, sehingga menjadiannya sebagai pusat sejarah penting di wilayah Afrika Utara.

Penemuan ini menjadi sangat berharga karena catatan tertulis tentang Neapolis sangat sedikit di dalam literatur Romawi. Kemungkinan, hal ini dikarenakan seluruh kota tersebut dihukum karena kurang setia terhadap orang Romawi. 

Penduduk Neapolis berpihak pada orang-orang Carthaginian selama Perang Punis Ketiga pada tahun 149-146 SM, sebelum orang Romawi menang dan menguasai kota. 

"Kami mencari pelabuhan dan pencarian di bawah air memungkinkan kami mengenali jejak lainnya, terutama untuk benar-benar memastikan bahwa Neapolis mengalami gempa pada tahun 365 M," pungkas Fantar. 

Arkeolog telah menemukan jaringan reruntuhan bawah laut luas yang membentuk kota Romawi kuno. Kota yang pernah dikenal sebagai Neapolis ini tenggelam setelah dihantam tsunami dahsyat sekitar 1.700 tahun silam. 

Penemuan itu mencakup jalan, monumen, dan ratusan tangki yang biasa digunakan untuk memproduksi garum—saus ikan fermentasi yang merupakan bumbu populer dan komoditi utama masyarakat Romawi  serta Yunani kuno.

Ekspedisi untuk menemukan Neapolis melibatkan para peneliti dari Tunisian National Heritage Institute dan University of Sassari di Italia. Meski sudah berjalan sejak 2010, namun penemuan besar baru terjadi di tahun ini berkat kondisi cuaca yang bersahabat. 

"Penemuan besar ini memungkinkan kita menetapkan dengan pasti bahwa Neapolis merupakan pusat utama untuk pembuatan garum dan ikan asin, mungkin pusat terbesar di dunia Romawi," kata kepala tim, Mounir Fantar. 

Reruntuhan itu terhampar hingga 20 hektar, dan menunjukkan bahwa Neapolis memang sebagian terendam oleh tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi pada tanggal 21 Juli 365.

Peristiwa itu dicatat oleh sejarawan Ammien Marcellin, dan bencana alam yang sama diperkarakan telah menyebabkan kerusakan besar di Alexandria, Mesir, dan di Pulau Kreta, Yunani pada masa itu.

Saat itu, belum ada alat ukur ilmiah, namun sejarawan menganggap gempa tersebut terdiri dari dua getaran, dengan yang terbesar mencapai magnitude 8,0. Kekuatan tersebut cukup untuk mendorong bagian-bagian Pulau Kreta hingga 10 meter.

Pertama kali ditemukan pada abad ke-5 SM, Neapolis memiliki arti "kota baru" dalam bahasa Yunani. Situs bawah laut ini berada di sebelah kanan Kota Nabeul,  timur laut Tunisia, yang merupakan tempat wisata populer saat ini dan terkenal dengan gerabahnya. 

Kota Neapolis beberapa kali berpindah tangan di antara faksi-faksi yang berperang, sehingga menjadiannya sebagai pusat sejarah penting di wilayah Afrika Utara.

Penemuan ini menjadi sangat berharga karena catatan tertulis tentang Neapolis sangat sedikit di dalam literatur Romawi. Kemungkinan, hal ini dikarenakan seluruh kota tersebut dihukum karena kurang setia terhadap orang Romawi. 

Penduduk Neapolis berpihak pada orang-orang Carthaginian selama Perang Punis Ketiga pada tahun 149-146 SM, sebelum orang Romawi menang dan menguasai kota. 

"Kami mencari pelabuhan dan pencarian di bawah air memungkinkan kami mengenali jejak lainnya, terutama untuk benar-benar memastikan bahwa Neapolis mengalami gempa pada tahun 365 M," pungkas Fantar. 

Arkeolog telah menemukan jaringan reruntuhan bawah laut luas yang membentuk kota Romawi kuno. Kota yang pernah dikenal sebagai Neapolis ini tenggelam setelah dihantam tsunami dahsyat sekitar 1.700 tahun silam. 

Penemuan itu mencakup jalan, monumen, dan ratusan tangki yang biasa digunakan untuk memproduksi garum—saus ikan fermentasi yang merupakan bumbu populer dan komoditi utama masyarakat Romawi  serta Yunani kuno.

Ekspedisi untuk menemukan Neapolis melibatkan para peneliti dari Tunisian National Heritage Institute dan University of Sassari di Italia. Meski sudah berjalan sejak 2010, namun penemuan besar baru terjadi di tahun ini berkat kondisi cuaca yang bersahabat. 

"Penemuan besar ini memungkinkan kita menetapkan dengan pasti bahwa Neapolis merupakan pusat utama untuk pembuatan garum dan ikan asin, mungkin pusat terbesar di dunia Romawi," kata kepala tim, Mounir Fantar. 

Reruntuhan itu terhampar hingga 20 hektar, dan menunjukkan bahwa Neapolis memang sebagian terendam oleh tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi pada tanggal 21 Juli 365.

Peristiwa itu dicatat oleh sejarawan Ammien Marcellin, dan bencana alam yang sama diperkarakan telah menyebabkan kerusakan besar di Alexandria, Mesir, dan di Pulau Kreta, Yunani pada masa itu.

Saat itu, belum ada alat ukur ilmiah, namun sejarawan menganggap gempa tersebut terdiri dari dua getaran, dengan yang terbesar mencapai magnitude 8,0. Kekuatan tersebut cukup untuk mendorong bagian-bagian Pulau Kreta hingga 10 meter.

Pertama kali ditemukan pada abad ke-5 SM, Neapolis memiliki arti "kota baru" dalam bahasa Yunani. Situs bawah laut ini berada di sebelah kanan Kota Nabeul,  timur laut Tunisia, yang merupakan tempat wisata populer saat ini dan terkenal dengan gerabahnya. 

Kota Neapolis beberapa kali berpindah tangan di antara faksi-faksi yang berperang, sehingga menjadiannya sebagai pusat sejarah penting di wilayah Afrika Utara.

Penemuan ini menjadi sangat berharga karena catatan tertulis tentang Neapolis sangat sedikit di dalam literatur Romawi. Kemungkinan, hal ini dikarenakan seluruh kota tersebut dihukum karena kurang setia terhadap orang Romawi. 

Penduduk Neapolis berpihak pada orang-orang Carthaginian selama Perang Punis Ketiga pada tahun 149-146 SM, sebelum orang Romawi menang dan menguasai kota. 

"Kami mencari pelabuhan dan pencarian di bawah air memungkinkan kami mengenali jejak lainnya, terutama untuk benar-benar memastikan bahwa Neapolis mengalami gempa pada tahun 365 M," pungkas Fantar.